Akhirnya ada kesempatan untuk berbagi cerita lagi. Seperti
biasa, ceritaku itu perpaduan antara pengalaman atau pergumulan hidup yang
dialami ditambah sedikit refleksi pribadi. Strukturnya mungkin ngalor ngidul tapi komposisinya
kira-kira seperti itulah. Sekian dan terima kasih. Wakakaka
Sama seperti kebanyakan orang, gw termasuk salah seorang
yang melibatkan diri di dalam dunia maya. Bahkan akhir-akhir ini bisa dikatakan
sedang ketagihan. Nah, gw punya beberapa akun di situs social network. Awalnya
sih, motivasinya cuma biar nggak dikatakan gaptek. Kemudian motivasinya
berkembang sebagai ajang mencari teman dan bersosialisasi dengan penduduk dunia
yang lain. Sampai tataran ini, motivasi ini kayaknya berada pada jalur yang
benar. Artinya, mungkin inilah cita-cita luhur para pendiri situs-situs
tersebut. Yakni agar berbagai makhluk di dunia ini bisa saling berinteraksi
walau dipisahkan ruang dan waktu. Ceilee
Dalam perkembangannya, terjadi pergeseran dalam hal pola
relasi. Kalo sebelumnya setiap penghuni umumnya ditempatkan dalam level yang
sama, kini berbagai social network tersebut mulai mengkategorikan anggotanya
dalam dua kasta, follower dan following. Gw nggak tahu sejarah cikal-bakalnya.
Tapi pasti kita semua sepakat kalo twitter-lah yang mempopulerkan pembagian
kasta ini. Kelihatannya nggak ada yang salah sih. Mereka yang punya kharisma
dan kepribadian plus hampir pasti memiliki follower yang banyak. Dan begitu
pulalah sebaliknya. Tapi bukankah manusia diciptakan sederajat? Kelihatanlah
bahwa pada akhirnya para penghuni dumay mulai berjuang menegakkan harga dirinya
baik dengan cara yang halal maupun tidak halal seperti dengan mencuri jempol
atau follower misalnya.
Sebelum topiknya jadi melebar, kita kembali fokus. Mungkin
banyak hal yang bisa direfleksikan dari ilustrasi yg gw utarakan di atas. Tapi
kali ini, gw melihat satu kata kunci dari ilustrasi terbut yakni Pengakuan.
Yups, bahwa setiap pribadi ingin mendapat pengakuan untuk sesuatu hal yang ia
kemukakan. Sah-sah saja. But, mungkin kita perlu mengkritisi lagi pola relasi
ini. Artinya bahwa pengakuan seharusnya adalah konsekuensi dari makna atau
manfaat yang kita berikan bagi orang lain. Tetapi pola relasi ini menjadi tidak
sehat ketika orang menekankan pada
pengakuan dan bukan pada pemberian diri. Maksudnya ialah orang berfokus
pada bagaimana mendapatkan pengakuan sebanyak-banyaknya, dan bukan terutama
pada bagaimana agar saya bisa berbagi kepada orang lain sebanyak-banyaknya.
Yang lebih parah lagi, banyak orang yang mendapat manfaat dari orang lain tidak
mau jujur memberikan pengakuan kepada orang yang telah membantunya. Contoh
konkret, kalo anda merasa cerita ngalor-ngidulku ini bermanfaat, ungkapkanlah
pengakuanmu dengan semacam kata terima kasih di bagian komentarnya misalnya. Sekali
lagi misalnya. Atau minimal doakanlah mereka yang telah mengisnpirasimu. Bukan
malahan mencopas secara tidak bertanggung jawab dengan mempublikasikannya
sebagai ciptaan pribadi.
Gw bukan ahli Bahasa Indonesia. Tetapi setelah gw
telusuri, kata pengakuan itu berasal dari kata dasar ‘Aku’. Dan ‘Aku’ kalau
tidak dimanfaatkan secara bijaksana, bisa menjurus kepada ‘egois’. Gw akhirnya
sadar, bahwa pengakuan bukanlah prioritas yang sesungguhnya. Prioritas yang
sesungguhnya itu ialah pemberian diri yang terungkap dalam status, tweet,
blogging. Ungkapkanlah dirimu secaramu jujur dan berikanlah sesuatu yang
bermanfaat bagi orang lain. Kalau demikian adanya, pasti akan ada pengakuan
untukmu. Mungkin saja bukan dalam bentuk follower membengkak, tetapi minimal
kemampuan pribadi untuk berbuat sesuatu yang positif semakin berkembang. Dan
yang pasti Tuhan tidak menutup mata untuk setiap pemberian dirimu. Kata orang
bijak nih, tak ada hal apapun di bumi ini yang tidak berguna kalo kita mau belajat
dari padanya. Percayalah bahwa apapun yang diungkapkan dengan jujur itu tidak
pernah sia-sia. So, jangan takut untuk mengungkapkan kebaikan dirimu secara
jujur hanya karena tidak ada like, retweet, atau komentar.
Udah itu ajha. Ngalor-ngidul kan? Hmm, tapi mudah-mudahan
cerita ini bermanfaat untukmu walau dalam bentuk yang berbeda dari manfaat yang
gw peroleh.