Minggu, 09 Februari 2014

K I P E R

Salah satu posisi dalam skuad kesebelasan sepakbola adalah kiper alias penjaga gawangnya tim. Meski menjadi benteng terakhir dari pertahanan sebuah tim sepakbola, posisi kiper sering “di-anak tiri-kan” dalam dunia sepakbola. Lihat saja dalam sistem formasi tim, kiper sering diabaikan.  Dalam formasi sebuah tim sepakbola, entah 3-5-2, 4-4-2, 4-5-1, 4-3-3, ataupun pengembangan formasi yang lainnya, yang dihitung hanya 10 orang, tentu saja tidak termasuk kiper di dalamnya.

Dalam sepakbola yang profesional, peng-anak-tiri-an posisi kiper nampak dalam hal nominal gajinya. Sering seorang kiper dalam sebuah tim profesional memiliki gaji yang tidak seberapa dibandingkan pemain lainnya. Kalo memang ia sangat hebat, paling ia hanya tidak menduduki posisi gaji terendah dalam tim dan tidak akan pernah menduduki posisi gaji tertinggi. Kalo nggak percaya coba anda googling gaji kiper hebat semacam Peter Schmeichel, Oliver Khan, Nelson Dida, Iker Casillas, Gianluigi Buffon, ataupun Peter Cech, dan bandingkan dengan gaji pemain hebat di posisi lain yang semasa dengannya. Tentu saja mereka kalah dalam nominalnya.

Bukti lain dari peng-anak-tiri-an kiper dalam sepakbola profesional adalah menyangkut penganugerahan pemain terbaik dunia atau Ballon d’Or. Paling banter kiper-kiper hebat itu hanya masuk dalam nominasi. Makin dikecilkan nominasinya, makin sedikit yang tersisa. Syukur kalo nyampe tiga besar. Dan sejarah mencatat bahwa belum pernah ada seorangpun kiper yang meraih gelar Ballon d’Or. Meski ‘kurang penghargaan’, kita tidak dapat menyangkal bahwa para kiper ini memiliki peranan yang penting dalam sebuah tim dan ada sebagian di antara mereka yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Dan sepakbola profesional tidak pernah kehilangan kiper, karena sekecil apapun penghargaan yang diberikan, kiper tetaplah sebuah pekerjaan yang bisa memberi hidup.

Perlakuan sepakbola amatir terhadap posisi kiper lebih kejam lagi. Mungkin karena bukan merupakan sebuah profesi, dalam sepakbola amatir, kiper menjadi sesuatu yang langka. Dalam pengalaman saya, sangat sering suatu permainan sepakbola amatir ‘terlambat’ bahkan tidak jadi dilaksanakan karena nggak ada pemain yang bersedia menjadi kiper. Posisi lain dalam tim boleh tak lengkap, tak sesuai formasi, ngalor ngidul, namun jika jumlahnya 10, pertandingan akan tetap berlangsung, tentu saja asalkan ada kiper. Posisi kiper dihindari karena dirasa kurang kontributif dalam menyumbang keringat. Tapi sebuah tim sepakbola tetap saja membutuhkan seorang kiper. Alhasil butuh kerelaan yang lebih dari seseorang untuk menempati posisi ini. Tak jarang pula ada yang sama sekali tidak memiliki bahkan sekadar pengetahuan atau pun ketrampilan dasar kiper tetapi ‘terpaksa’ mengisi posisi ini demi kelangsungan sebuah permainan sepakbola amatir.


Dalam poin-poin inilah saya justru melihat keistimewaan posisi kiper. Kiper penting tapi di-anak-tiri-kan. Ialah benteng terakhir yang menjaga pertahanan tim agar tidak kebobolan, tetapi perannya malah ditinggalkan. Ketiadaan kiper adalah ketiadaan pertandingan sepakbola, tetapi keberadaannya yang menentukan jalannya pertandingan malah diabaikan. Seorang kiper memang hanya mendapat sedikit keringat untuk dirinya sendiri, tetapi ia menyumbang banyak keringat untuk ke-10 anggota tim yang lain. Meski hanyalah sebuah permainan amatir, perlu diakui bahwa mereka yang akhirnya bersedia menjadi kiper ini adalah pribadi-pribadi yang memiliki kualitas kerendahan hati dan kerelaan memberi yang baik. Kita butuh kualitas seorang kiper, bukan hanya dalam permainan sepakbola, tetapi juga dalam kehidupan.