Oleh: Nicolas Renleuw
Sekolah TInggi Filsafat Seminari Pineleng
I.
IDENTIFIKASI MASALAH
Klien
saya dalam konseling pastoral ini adalah Tina (nama samaran).[1]
Dia adalah teman semeja saya ketika
berada di bangku SMP dulu, di kota Tual. Tina seusia dengan saya, 25 tahun.
Demikian pula kami berasal dari daerah yang sama yakni Kei, Maluku Tenggara.
Agamanya Kristen Protestan. Tepatnya ia adalah warga jemaat Gereja Protestan Maluku
(GPM). Tetapi sejak tinggal di Manado ia bergabung dengan Gereja Masehi Injili
di Minahasa (GMIM) yang baginya memiliki ritus ibadah dan organisasi gerejawi
paling mirip dengan GPM.[2]
Sudah sekitar 7 tahun Tina berdomisili di Manado, kurang lebih 5 tahun ia
kuliah MIPA Matematika di Universitas Sam Ratulangi dan 2 tahun belakangan ia
menjadi guru honorer Matematika di salah satu SMA Negeri di Manado. Bagi saya
pribadi, secara fisik Tina sedikit menonjol. Mungkin karena faktor darah Cina
Ternate dari ibu yang mengalir dalam darahnya.
Saat ini Tina
tinggal di rumah kontrakan di daerah Kampus, Malalayang. Tina tinggal bersama
dengan Randy, pacarnya kurang lebih sudah 2 tahun belakangan ini. Randy berasal
dari Tobelo dan merupakan kakak tingkatnya Tina semasa kuliah dulu. Ia pun saat
ini menjadi warga jemaat GMIM. Saat ini Randy sementara melanjutkan studi S2
pada jurusan Ekonomi Manajemen.
II.
PERMASALAHAN YANG DIUNGKAPKAN
Dari identifikasi masalah yang telah
kami paparkan sebelumnya, kiranya sudah sedikit terlihat masalah apa yang
sedang dialami klien. Dalam proses-proses konseling yang saya lakukan, Tina
mengungkapkan masalah yang dihadapinya sebagai berikut.
Kurang lebih dua tahun belakangan,
Tina tinggal sekamar bersama dengan Randy pacarnya. Dengan agak malu-malu
tetapi dengan cukup rasa percaya ia mengungkapkan bahwa mereka hidup layaknya
suami isteri dengan aktifitas seksualnya yang cukup rutin, “Sesuai dengan
kebutuhan”, katanya. Menurut Tina, hubungan ini didasarkan pada rasa cinta
antara keduanya. Tina mengakui bahwa ada perasaan bersalah dalam hati kecilnya.
Terutama juga karena situasi hidup bertetangga yang ‘sedikit’ menggelisahkan
hatinya, meski para tetangga sendiri tidak pernah mempermasalahkannya secara
terang-terangan. Namun, ia merasa nyaman tinggal bersama dengan pasangannya
tersebut. Apalagi keluarganya jauh dan kurang memberikan perhatian baginya. Ia
mengungkapkan keunggulan-keunggulan pasangannya tersebut; dari banyak
membantunya semasa kuliah hingga memberikan rasa aman baginya. Tak lupa ia
menceritakan bahwa pada hari minggu, ia bersama pasangannya sering menyempatkan
diri untuk bersama-sama ke gereja. Tina pernah menanyakan soal kejelasan status
mereka; ‘mau dibawa ke mana hubungan ini?’. Tetapi jawaban yang diterima dari
Randy selalu saja sama; ‘belum saatnya kita membahas masalah ini!’. Rina pun
memilih bungkam saja, toh selama ini Randy tetap memberikan rasa nyaman baginya
‘Masalah’nya ialah akhir-akhir ini ia
mendapati bahwa pasangannya tersebut telah banyak berubah. Randy lebih banyak
menghabiskan waktu di luar rumah. Kalaupun pulang, kadang sudah lewat tengah
malam. Pasangannya itu juga sudah mulai tertutup; menyimpan rapat HP-nya atau
menghapus semua SMS masuk dan daftar panggilan yang ada di HP-nya bila Tina
memintanya. Juga jarang sekali ia bercerita tentang situasi yang ia alami
sepanjang hari. Apalagi intensitas pertemuan mereka semakin terbatas. Pernah
suatu malam, ketika Randy telah tidur, Tina menggeledah HP-nya. Ia menemukan
sebuah nomor asing di daftar panggilan keluar pada HP tersebut yang mungkin
lupa dihapus Randy. Malam itu juga Tina menghubungi nomor tersebut. Suara
wanita yang terdengar di ujung telepon sana. Dengan agak emosi, Tina bertanya
perihal hubungannya dengan Randy. Dengan banyak desakan dan ancaman, wanita itu
‘hanya’ mengakui Randy sebagai teman yang asyik. Tidak lupa di akhir
pembicaraan Tina menegaskan statusnya sebagai ‘pasangan hidup’ Randy. Waktu
terus berjalan. Tingkah laku Randy tidak berubah, bahkan semakin aneh. Sering
ia juga menghabiskan waktu di depan PS, situasi yang sangat tidak disukai Tina.
Terlalu kekanak-kanakan,katanya. Tetapi Tina tak berdaya untuk mengubahnya.
Bahkan tak jarang Randy mulai berani membentak Tina bila merasa risih dengan
hal-hal yang dipersoalkan Tina.
Melalui suatu investigasi pribadi,
Tina akhirnya mengetahui bahwa Randy ‘berselingkuh’ dengan wanita lain, yang
pernah diteleponnya. Dalam pengakuannya, secara jujur Randy mengatakan bahwa
ini adalah pasangan selingkuhan keduanya. Tina bertekad untuk meninggalkan
Randy. Tetapi permohonan maaf Randy yang berlutut dihadapannya disertai janji-janji
untuk tidak mengulangi perbuatannya tersebut telah meluluhkan hatinya.
Dalam sesi konseling, Tina
mengungkapkan bahwa ia mulai mengalami kebingungan dalam hidupnya. Di satu
sisi, ia ‘kelihatannya’ mulai menyadari ketidakberesan hubungannya dengan Randy
sehingga terpikirkan untuk meninggalkan pasangannya tersebut dan memulai hidup
baru. Tetapi di pihak lain, menurut pengakuannya, ia tidak tega untuk melakukan
semua itu mengingat sudah banyak ketergantungan yang dialami oleh keduanya.
“Saya harus bagaimana?” Demikianlah pertanyaan yang mendorongnya untuk mencari
sebuah konseling.
III.
MASALAH SESUNGGUHNYA (REAL
PROBLEM, UNDERFLYING ISSUES)
Dalam menganalisa masalah sebagaimana
diungkapkan Tina, saya menemukan sebenarnya ada beberapa masalah yang sedang dihadapi
oleh klien saya tersebut. Pertama, saya menyebutnya sebagai krisis suara hati. Entahkah karena
kebingungan ataukah karena suara hatinya yang kurang berkembang. Indikasinya
ialah bahwa ia tidak dapat mengendalikan perilakunya (bersama pasangan).[3] Di
satu sisi, masih ada sedikit suara dari hatinya yang mengingatkan tentang
hubungannya dengan pasangan yang menyimpang secara moral. Tetapi di sisi lain,
ia tidak berdaya untuk meninggalkan gaya hidup tersebut. Dari penuturannya
dapat terlihat pula bahwa hal ini juga disebabkan karena kurangnya kontrol dari
masyarakat sekitar (lingkungan) dan keluarga. Bahkan agama pun seakan tak
sanggup menyokong suara hatinya, meski ia rajin ke gereja. Mungkinkah karena
khotbah-khotbah yang tidak menyentuh dalam dua tahun terakhir ini, ataukah
karena sudah terlalu kronis kekeliruan suara hatinya. Ia justru mulai terusik
ketika banyak persoalan yang muncul kemudian. Krisis suara hati tersebut
menyebabkan kebingungannya dalam mengambil keputusan.
Kedua, masih dalam kaitannya dengan
yang pertama, ialah pemahaman yang
keliru tentang makna cinta dan seksualitas. Dapat terlihat dengan jelas,
bagaimana Tina berusaha membenarkan tindakannya bersama pasangannya atas nama ‘cinta’.
Baginya, hubungan seksual itu wajar saja yang penting didasarkan atas rasa
‘cinta’. Dalam bahasa orang modern, yang penting atas rasa suka sama suka.
Padahal cinta kasih yang sejati hanya terungkap dalam perkawinan, di mana di
dalamnya pasangan suami istri mengungkapkan keterarahannya secara jernih untuk
mewujudkan cinta kasih Allah bagi pasangannya masing-masing. Keluarga adalah
sarana pengungkapan cinta antara dua pribadi.[4]
IV.
SEJARAH MASALAH
Berdasarkan pemaparan-pemaparan pada
bagian sebelumnya, telah diketahui bahwa permasalahan yang dialami Tina
sebenarnya adalah pada krisis suara hati dan pemahaman yang keliru tentang
makna cinta dan seksualitas. Untuk itu, sejarah masalahnya ini mesti ditelusuri
dari situasi keluarga si klien.
1. Sejarah/Gambaran
tentang Situasi Keluarga Klien
Meskipun si Klien adalah teman lama
yang cukup dekat dengan saya ketika sama-sama berada di SMP dulu, namun
ternyata saya belum mengenal secara mendalam situasi keluarganya. Dalam
proses-proses konseling yang dibuat, saya mengetahui bahwa ternyata Tina berasal
dari keluarga yang punya sedikit masalah.
Tina adalah anak yang lahir di luar
nikah. Sesudah kelahirannya, ayahnya yang adalah seorang tentara sebenarnya
ingin menikahi ibunya. Tetapi keluarga sang ibu tidak merestuinya dan menentang
hubungan mereka dengan sangat keras karena alasan latar belakang keluarga dan
perbedaan keyakinan. Keluarga ayahnya beragama katolik dan berasal dari Kei.
Sementara keluarga ibunya adalah keturunan Cina Ternate yang beragama Kristen
Protestan. Meski Ayahnya bersedia pindah agama, tetapi toh hal itu tidak
merubah pendirian dari keluarga pihak ibu. Bahkan sesudah kelahiran Tina. Pada
akhirnya ibunya menikahi pria lain pilihan orang tuanya. Sementara ayahnya juga
menikah dengan wanita lain yang juga berteman dekat dengan ibunya yang juga
beragama Kristen Protestan. Ayahnya pun akhirnya memeluk agama Kristen
Protestan. Dalam kesepakatan, Tina akhirnya dibesarkan oleh keluarga baru
ayahnya bersama dengan ibu tiri.
Walaupun dibesarkan oleh ayah dan ibu
tirinya, tetapi sebenarnya Tina mendapatkan perhatian yang cukup besar dan
tidak dibedakan dengan adik-adiknya yang lain. Ketika duduk di bangku kelas 5
SD, atas berbagai pertimbangan ayah dan ibu tirinya menceritakan situasi
keluarga sebenarnya kepadanya. Kebetulan relasi keluarganya dengan keluarga ibu
kandungnya pun terbilang tetap terjalin dengan sangat baik. Sehingga Tina
memiliki kerinduan untuk bertemu ibu
kandungnya. Bahkan setahun Tina diasuh oleh keluarga baru ibu kandungnya di
Ternate. Ada penerimaan dari baik keluarga ayah maupun ibunya. Memasuki bangku
SMP, Tina kembali tinggal bersama ayah dan ibu tirinya di Tual. Waktu terus
bergulir.
Memasuki bangku
SMA, ibu kandungnya bercerai dari suaminya. Meski situasi ekonomi ibu
kandungnya yang sudah mapan tidak terpengaruh, namun tentu saja hal itu turut
memberikan dampak bagi anak-anaknya. Sejak perceraian tersebut, relasi antara keluarga
ibu kandungnya (Tina punya seorang adik tiri dari ibu kandungnya) dan keluarganya
semakin dekat. Komunikasi merekapun semakin intens. Dan bagi Tina, ia merasa
enjoy saja dengan situasi ini. Bahkan ia merasa senang karena memiliki dua
orang mama.
Saya
berpendapat bahwa situasi keluarga yang demikian mungkin saja turut membentuk
perspektif Tina yang keliru mengenai masalah cinta dan keluarga.
2.
Relasi dengan Randy
Selepas bangku
sekolah menengah, Tina memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Manado. Jurusan
Matematika Fakultas MIPA Universitas Sam Ratulangi menjadi pilihannya.
Perkenalannya dengan Randy terjadi semasa kuliah ini. Randy adalah mahasiswa
jurusan Ekonomi. Kakak tingkatnya setahun. Keaktifannya dalam organisasi
mahasiswa kampus menjadikan Randy cukup populer, hingga lintas fakultas.
Perkenalan dan
kedekatan relasi mereka bermula ketika mereka sama-sama tergabung dalam wadah
salah satu kerukunan mahasiswa kedaerahan. Pertemuan yang intens antara
keduanya pun menjadi sering terjadi. Apalagi wadah ini memiliki
kegiatan-kegiatan rutin seperti ibadah mingguan yang memungkinkan intensitas
pertemuan keduanya. Namun saling ketertarikan atau perasaan jatuh cinta antara
keduanya terjadi ketika mereka sama-sama duduk di kepengurusan wadah kerukunan
mahasiswa tersebut. Randy yang semester tujuh menjadi ketua, sedangkan Tina
yang semester lima menjabat sekretaris. Sejak saat itulah mereka berpacaran.
Di akhir
semester delapan, Tina memutuskan untuk memanfaatkan waktu liburan panjang
kampus untuk pulang ke Tual. Sekembalinya dari Tual, Tina mesti mencari kos-kosan baru mengingat sebelum liburan
panjang ia telah memutuskan masa kontraknya dengan tempat kos sebelumnya. Randy
menawarinya untuk tinggal ‘sementara waktu’ di rumah kontrakannya. Rumah
tersebut dikontrak Randy bersama-sama beberapa temannya yang juga kebetulan
sama-sama berasal dari Maluku Utara. Tanpa ragu-ragu, Tina pun menyetujui
tawaran tersebut. Awalnya mereka masih tinggal berbeda kamar, tetapi kemudian
mereka pun akhirnya memutuskan untuk tinggal sekamar layaknya pasangan suami
istri. Situasi yang berlangsung hingga dua tahun kemudian.
Sebagaimana
diungkapkan oleh klien, bahwa berbagai dinamika yang terjadi dalam hubungan
keduanya telah mendorongnya untuk meminta kejelasan dari pasangannya.
Harapannya mereka bisa memasuki tahapan yang lebih serius dalam hubungannya. Namun,
Randy masih tetap saja ‘menggantung’ hubungan keduanya. Meski sikapnya sudah
kembali berubah manis bagi Tina. Pada situasi terakhir inilah Tina mengalami
kebimbangan yang serius untuk mengambil keputusan bagi kehidupan selanjutnya.
3.
Cara Klien Mengatasi Masalah
Tina menuturkan
bahwa masalah yang sedang dihadapinya ini pernah direfleksikannya. Dalam
permenungannya tersebut, ia menengok kembali perjalanan hidupnya. Ada satu
pengalaman menarik yang disharingkannya. Ia mengisahkan bahwa ketika masih
kuliah dulu, kurang lebih selama tiga tahun ia terlibat dalam pelayanan gereja
sebagai Pengasuh dalam Sekolah Minggu. Awal semester sembilan, sejak pindah
tempat tinggal dan berdomisili bersama Randy, ia meninggalkan pelayanannya
tersebut tanpa pemberitahuan kepada para pengurus. Ia menghubungkan hal ini
dengan situasi hidupnya saat ini. Ia beranggapan bahwa masalah yang menimpanya
ini merupakan “hukuman” dari Tuhan atas perbuatannya meninggalkan pelayanan.
Masalahnya ialah ia merasa malu untuk kembali pada pelayanan tersebut. Ia hanya
berlari pada doa pribadi, mendekatkan diri pada Tuhan memohon pengampunan
kepada Tuhan. Hal ini pernah disharingkan kepada salah seorang temannya yang
dianggapnya punya kehidupan rohani yang baik. Dan solusi yang ditawarkan pun
sama. ‘Konselor’nya itu mengaminkan refleksinya; bahwa masalah yang dihadapinya
adalah akibat kesalahannya meninggalkan pelayanan sehingga solusinya ialah
perbanyak doa dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Saya pribadi berpendapat bahwa
meski tidak keliru sama sekali[5]
tetapi solusi semacam ini dapat saja jatuh pada spiritualisasi[6]
sehingga tidak didukung langkah konkret untuk berkembang. Bahkan si klien bisa
saja jatuh pada masalah baru yakni perasaan bersalah yang berlebihan.
Langkah maju yang telah dibuat oleh klien
dalam menghadapi persoalannya ialah mulai ada kesadaran bahwa ia sedang berada
dalam perilaku menyimpang. Kesadarannya telah mendorongnya untuk mencoba
membicarakan masa depan hubungan keduanya dengan harapan hubungan ini semakin
dibawa kepada jenjang yang serius yakni pernikahan. Namun, sikap pasangannya
yang belum berani berkomitmen dalam kehidupan keluarga menyebabkan ia akhirnya
tetap bertahan dalam situasi ini. Sementara ia sendiri mengakui bahwa mereka
masih sering mengadakan hubungan seksual layaknya suami-istri. Ada kerinduan
dalam dirinya untuk mulai mengakhiri situasi mereka ini, tetapi ia seakan tak
berdaya untuk keluar dari lingkaran setan yang telah menjeratnya ini.
V.
PERENCANAAN KONSELING/TREATMENT
PLAN
Dalam proses konseling ini, saya
menetapkan beberapa tujuan yakni tujuan jangka panjang dan tujuan jangka
pendek. Sesudahnya saya menentukan bayangan strategi yang hendak saya gunakan
dalam proses konseling. Pada bagian ini juga akan dipaparkan ringkasan sesi
konseling yang telah diselenggarakan.
1.
Tujuan Konseling
a.
Jangka
Panjang
Tujuan
jangka panjang konseling berkaitan dengan idealisme yang hendak dicapai melalui
proses konseling. Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi klien, maka
idealisme yang hendak dicapai ialah bagaimana agar klien dapat berproses untuk
menjernihkan suara hatinya. Sehubungan dengan ini, saya mendasarkan proses ini
pada teori Geoffrey Petterson dan Howard Clinebell.[7]
Petterson
mengemukakan enam ciri khas suara hati yang sehat dan dewasa berdasarkan sudut
kehidupan dan pengajaran Kristus.
(1) Suara hati yang sehat adalah suara
hati yang positif, suara hati yang bebas. Melalui kasih Allah ia dibebaskan
dari kepatuhan dan paksaan untuk mencocokkan diri pada kode legalistik atas
tekanan kelompok.
(2) Suara hati terbentuk oleh partisipasi
dalam persekutuan (komunitas) Kristen, khususnya dalam kelompok kecil yang
memelihara suara hati, yang melaluinya panggilan Allah disampaikan paling cepat
dan mudah.
(3) Suara hati terus menerus bertumbuh,
yang dibangunkan menuju pembaruan dengan menghadapi krisis yang menantang
kelemahan etis dan membiarkan kita menemukan bidang baru dari kebutuhan
manusia.
(4) Suara hati terpadu, yang memanggil
orang menuju keutuhan penuh dari kemanusiaannya.
(5) Suara hati mendampingi dalam arti
menolong orang lain untuk bertumbuh dan menerima orang lain dalam pertumbuhan
kita sendiri.
(6) Suara hati bertanggung jawab secara
sosial dan dalam pendampingannya ada ke-inklusif-an
global.
Cinebell menambahkan dua ciri ke dalam daftar Peterson:
(7) Suara hati yang sehat dan dewasa
adalah suara hati yang mengandung kapasitas kepriaan dan kewanitaan.
(8) Sekarang ini, suara hati yang sehat
haruslah diorientasikan untuk memberi prioritas tertinggi untuk nilai
perjuangan kelangsungan hidup kemanusiaan.
Selain itu, krisis suara hati yang
dihadapi Tina ialah kurangnya pemahaman tentang idealisme cinta dan
seksualitas. Karena itu saya mendasarkan pula proses konseling ini pada
pandangan cinta dan seksualitas menurut ajaran Moralitas Katolik yang kiranya
juga berlaku universal, yakni sebagai berikut.[8]
Seks adalah hal yang membagi makhluk
hidup ke dalam kedua kelompok atau jenis: pria dan wanita. Maka seks bukan
merupakan faktor tambahan saja. Sementara seksualitas berarti segala unsur yang
menjadikan seseorang sungguh-sungguh pria atau wanita. Seksualitas mencakup
seluruh aspek kepribadian: psikologis, biologis, sosial, budaya, dan spiritual.
Seks merupakan bagian dari seksualitas atau dengan kata lain seks manusia ada
di dalam seksualitasnya. Makna perbedaan seksualitas ialah supaya manusia saling
melengkapi dan menyempurnakan. Bukan yang satu lebih unggul dari yang lain. Tanpa
relasi seksualitas, manusia tampil dalam kekurangan dan ketidaklengkapan.
Seksualitas menggerakkan manusia untuk keluar diri dan terarah ke jenis seks
lain (sifat sosial). Dalam relasi tersebut, ada yang ingin menguasai, tetapi
kemudian berkembang positif: saling belajar dan saling menyempurnakan.
Persamaan seks manusia dan binatang
adalah adanya kecenderungan berhubungan seks (aspek biologis). Sedangkan
perbedaannya ialah bahwa seks manusia bersifat manusiawi: dikendalikan akal
budi dan bermakna luas. Karena itu aktifitas seksualnya seharusnya merupakan
tindakan pemberian diri secara total yang berlandaskan cinta dan mengarah
kepada perpaduan sempurna antara dua pribadi dari masing-masing jenis seks.
Sementara pada binatang aktifitas seksualnya hanya berdasarkan naluri: sekadar
pemuas nafsu dan alat reproduksi semata.
Oleh karena itu, pada manusia hubungan
seks perlu dilihat sebagai pengungkapan cinta. Tindakan seks adalah wujud
penyerahan diri utuh karena cinta murni antara kedua pihak untuk saling
melengkapi dan menyempurnakan. Maka bayi yang lahir darinya dipandang sebagai
buah kasih yang perlu dirawat, dipelihara, dibesarkan dan dididik dengan kasih
sayang. Singkatnya, seks adalah sarana untuk membahasakan cinta dan kasih
sayang demi kebahagiaan bersama dan hanya dibenarkan sejauh digunakan utk
maksud itu. Wajar bila seks manusia perlu diatur dalam aturan-aturan dan hukum
menurut ketentuan etis-moral dan dilindungi undang-undang.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa
keluarga merupakan sarana pengungkapan cinta antara dua pribadi. Keluarga
adalah sarana bagi kedua pribadi yang berbeda seks mengungkapkan diri dan
cintanya bukan untuk kepentingan pribadi tetapi untuk kepentingan bersama
(unsur tanggung jawab). Relasi cinta ini dipertahankan seumur hidup dalam satu
persekutuan hidup. Yang ditekankan antara lain unsur pengorbanan diri: saling
memberi dan menerima.
b.
Jangka
Pendek
Tujuan jangka pendek berkaitan dengan
langkah konkret yang hendak diambil sesudah atau sementara proses konseling
berlangsung. Sesudah menuntun klien untuk berproses menjernihkan suara hatinya,
perlahan-lahan saya menuntunnya untuk mengambil keputusan yang jelas bagi
kehidupannya selanjutnya. Ada dua pilihan besar yang coba saya tawarkan sambil
tak lupa memberikan konsekuensi-konsekuensi pilihan tersebut. Pertama, mendesak
pasangannya untuk memperjelas hubungan mereka dengan segera melangkah ke proses
pernikahan. Dan kedua, berpisah dengan tegas. Yang jelas ia bersama pasangannya
harus menghentikan kebiasaan seks di luar nikah yang sering mereka lakukan.
Untuk itu saya menganjurkan agar Tina segera mencari tempat tinggal baru.
2. Strategi
Dasar Konseling.
Dalam prosesnya, konseling ini
berkiblat pada prinsip konseling untuk orang yang lemah suara hatinya,
didasarkan pada pendekatan terapi-realitas (reality-therapy
approach). Prinsip-prinsip itu antara lain sebagai berikut.
(1) Membangun hubungan yang akrab.
(2) Memperhadapkan orang dengan tabiat
perilakunya yang merusak diri sendiri dan menolak kenyataan.
(3) Berusaha merintangi perilaku yang
tidak bertanggung jawab dan keterlaluan.
(4) Memberikan penghargaan terhadap
perilaku yang bertanggung jawab dengan persetujuannya. Membantu orang belajar
memuaskan kebutuhannya dengan cara yang konstruktif secara sosial dan
berorientasi pada kenyataan.
(5) Menyelidiki berbagai aspirasi orang
dan membantunya membuat dan melaksanakan rencana yang realistis dan memuaskan
untuk masa depan.
Selain itu, tidak lupa saya pun mendasarkan diri pada
model psiko-spiritual dengan tahapan-tahapan konseling Catarsis-Insight-Aksi
dan empati sebagai ketrampilan dasarnya.[9]
3. Ringkasan
Sesi Konseling (Progress Report dan Penyesuaian Treatment Plan)
Konseling ini akhirnya berlangsung
sebanyak empat kali dengan durasi waktu yang bervariasi. Dalam sesi pertama,
saya berfokus pada tahapan catharsis.
Karena itu sikap dasar yang saya ambil ialah mendengarkan dengan empati. Dalam
prosesnya, kami sempat mengawali percakapan dengan berbasa basi seputar masa
sekolah dulu. Ini merupakan salah satu strategi yang saya terapkan untuk
membangun hubungan yang akrab dengan klien. Kebetulan klien adalah seorang
teman yang sudah cukup dekat sehingga keakraban ini tidak cukup sulit dibangun.
Kemudian perlahan-lahan saya menuntunnya untuk mulai mengungkapkan
permasalahannya. Saya membiarkan Tina untuk mengeksplorasi masalahnya
sebebas-bebasnya. Sikap dasar yang saya ambil ialah mendengarkan dengan empati.
Namun saya juga sesekali tetap mengarahkan pembicaraan sehingga Tina dapat
mengungkapkan secara detail situasi yang sedang dihadapinya kini. Beberapa saat
sesudah Tina mengungkapkan segala sesuatunya, saya kembali mengajaknya untuk
berbasa-basi dalam rangka mencairkan situasi. Namun di balik itu ada juga misi
untuk menelusuri situasi keluarganya. Saya bertanya dengan basa-basi dan
akhirnya ia menceritakan pula situasi keluarga asalnya. Sesi pertama ini
memakan waktu yang cukup lama yakni hampir 100 menit. Meski demikian, saya
tidak merasa jenuh dan cukup puas dengan proses saat ini.
Di awal sesi kedua, saya masih mencoba
memberikan kesempatan kepada Tina untuk mengungkapkan permasalahannya yang
mungkin belum diungkapkan. Rupanya ia lebih banyak mengulang kembali apa yang
telah disampaikan kepadanya dalam sesi sebelumnya. Kemudian dalam proses yang
lebih dialogis dengan Tina saya mencoba mengeksplorasi masalah yang dihadapinya
lewat perspektif nilai-nilai Kristiani. Saya memberikan berbagai insight dengan bungkusan sharing dan
refleksi yang dibandingkan dengan berbagai pengalaman yang terjadi. Tidak lupa
saya berani mengajak Tina untuk berkonfrontasi dengan situasinya. Sasaran utama
saya adalah menjernihkan dan merumuskan masalah sebenarnya yang sedang dihadapi
Klien, sambil melaluinya membentuk kesadaran baru dalam dirinya. Di akhir sesi
ini, saya mengajaknya untuk coba mengkomunikasikan kesadaran barunya kepada
pasangannya. Saya juga menawarkan kepadanya untuk melibatkan pasangannya dalam
sesi konseling selanjutnya. Ia sangat setuju untuk ajakan yang pertama.
Sedangkan tawaran kedua ditanggapinya dengan sedikit ragu-ragu namun tetap
berjanji untuk mengusahakannya. Sesi ini berjalan kurang lebih 60 menit.
Rupa-rupanya pasangannya tidak
bersedia untuk terlibat dalam konseling ini. Meski demikian, klien kelihatan
semakin optimis untuk mengahadapi situasi persoalannya. Ia mengisahkan tentang
proses yang terjadi bersama pasangannya di awal sesi yang ketiga ini. Kembali
ia bersharing tentang pola relasi yang berkembang antara keduanya. Sesi ketiga
ini lebih merupakan pemantapan dari sesi konseling pertama dan kedua. Dalam
proses yang tetap dialogis, saya tetap menyisipkan berbagai insight kepadanya. Proses sesi yang
ketiga ini berlangsung cukup singkat, yakni sekitar 40 menit.
Dalam sesi yang terakhir, saya
mengajak klien untuk melihat kembali sesi-sesi sebelumnya. Saya menarik benang
merahnya yang menjadi semacam kesimpulan awal untuk arah hidup selanjutnya.
Dengan pasti saya mengajak klien untuk mulai menentukan langkah hidup
selanjutnya. Tak lupa saya memberikan gambaran tentang berbagai konsekuensi
yang menyertai sebuah pilihan atau keputusan. Dengan cukup pasti klien
menegaskan, sebagaimana sudah mulai terungkap dalam proses-proses sebelumnya,
akan keputusannya untuk meninggalkan situasinya. Tak lupa saya menyisipkan
berbagai tantangan yang akan dihadapinya. Butuh komitmen diri yang kuat serta
tak lupa saya mengajaknya untuk menyerahkan semua keputusan hidupnya ini dalam
penyelenggaraan Tuhan. Di akhir konseling ini, tidak lupa saya menyatakan
keterbukaan saya untuk konseling atau pun curhat pada waktu lain bila
dibutuhkan.
VI.
DINAMIKA KONSELING
Ada berbagai perasaan yang berkembang
selama proses konseling ini. Di sesi awal konseling ini, klien terlihat sedikit
gugup, cemas dan malu khususnya dalam menuturkan masalahnya. Namun situasi ini
tidak berlangsung lama. Keakraban dan situasi kodusif yang kami bangun
mengantarkannya untuk kemudian lebih tenang dan jernih dalam mengungkapkan
situasinya. Secara umum, dalam sesi-sesi konseling selanjutnya saya melihat
klien lebih merasa nyaman sehingga proses ini dapat berjalan dengan cukup
lancar. Meskipun demikian, sesekali klien merasa terusik akibat beberapa
konfrontasi yang saya paparkan. Ia sendiri mengungkapkannya. Tetapi kemudian ia
bisa menerima segala konfrontasi itu karena dorongan yang kuat untuk berubah
dalam dirinya. Di akhir-akhir konseling ini, saya melihat sebuah kemantapan
hati dan optimisme dalam diri klien untuk melangkah maju dalam hidupnya.
Sementara itu, sebagai konselor saya
saya pun bergumul dengan berbagai perasaan yang berkecamuk terutama untuk
belajar mendengarkan dengan empati. Saya mengalami bahwa memang tidak gampang
memang untuk bisa berempati. Keutamaan ini hanya mugnkin terjadi jika mau untuk
keluar sejenak dari dalam diri. Keluar dari dalam diri berarti meninggalkan
segala kemapanan, kenyamanan, dan kebutuhan yang ada dalam diri. Dan kualitas
lain yang dibutuhkan dan tak kalah pentingnya tentu saja ialah kesabaran. Hanya
dengan demikian dapat mungkin bagi kita untuk masuk dan tinggal sejenak dalam
kehidupan orang lain.
Di awal konseling ini, saya sempat
bergumul dengan rasa ingin menghakimi klien yang timbul dari dalam diri. Saya
merasakan secara mencolok perbedaan nilai dan pandangan di antara kami. Saya
berusaha professional untuk dapat mengendalikan diri secara positif. Dan saya
merasa senang karena akhirnya dapat melihat persoalan secara jernih. Saya
bersyukur bahwa meski dengan sedikit konfrontasi dalam diri, saya merasa cukup
berhasil dalam kualitas mendengarkan dengan empati ini.
Di sesi-sesi selanjutnya, saya
mengerahkan lebih banyak akal budi untuk mengimbangi perasaan. Saya berusaha
seobjektif mungkin dalam meneropong permasalahan yang dihadapi klien ini. Sikap
ini agak terbantu klien sendiri begitu blak-blakan mengungkap persoalannya
sehingga saya bisa mengerti dan menganalisis permasalahan yang dihadapi klien.
VII.
LAMPIRAN
PROGRESS REPORT PROSES KONSELING
Nama : Nicolas
Renleuw
Tanggal Penulisan : 15 Desember 2011
Klien :
Tina Renyaan
Sesi No : 1
Tanggal : 21 November 2011
Lamanya : 93 Menit
1.
Ringkasan
Jalannya Sesi
Dalam prosesnya, kami sempat mengawali percakapan dengan
berbasa basi seputar masa sekolah dulu. Ini merupakan salah satu strategi yang
saya terapkan untuk membangun hubungan yang akrab dengan klien. Kemudian
perlahan-lahan saya menuntunnya untuk mulai mengungkapkan permasalahannya. Saya
membiarkan Tina untuk mengeksplorasi masalahnya sebebas-bebasnya. Sikap dasar
yang saya ambil ialah mendengarkan dengan empati. Namun saya juga sesekali
tetap mengarahkan pembicaraan sehingga Tina dapat mengungkapkan secara detail
situasi yang sedang dihadapinya kini.
2.
Hal-hal
Penting
Dalam sesi ini, ada beberapa hal penting yang perlu
dicatat. Pertama saya bisa menangkap secara detail permasalahan yang
diungkapkan oleh klien. Kedua, saya senang karena klien boleh melewati proses catharsis ini dengan lancar. Hal ini
ditunjang oleh situasi kondusif dan keakraban yang kami bangun.
3.
Dinamika
Konseling
Pada awalnya klien cukup cemas, gugup, dan malu. Tetapi
situasi kondusif yang terjadi menyebabkan hal itu tidak bertahan lama. Klien
dapat mengungkapkan secara detail permasalahan yang dihadapinya. Saya sendiri
bergumul dengan perasaan ingin menghakimi yang sempat muncul. Tetapi akhirnya
saya dapat masuk ke dalam situasi konseli untuk memahami apa yang sedang
dihadapinya.
4. Catatan untuk Konseling Selanjutnya
Mengeksplorasi permasalahan
yang dialami klien dari berbagai perspektif dan merumuskan persoalan
sebenarnya.
Sesi No : 2
Tanggal : 26 November 2011
Lamanya : 60 Menit
1.
Ringkasan
Jalannya Sesi
Saya masih memberikan beberapa kesempatan kepada Tina
untuk mengungkapkan permasalahannya yang mungkin belum terungkap. Kemudian
dalam proses yang lebih dialogis saya mencoba mengeksplorasi masalah yang
dihadapinya lewat perspektif nilai-nilai Kristiani. Saya memberikan berbagai insight dengan bungkusan sharing dan
refleksi yang dibandingkan dengan berbagai pengalaman yang terjadi. Tidak lupa
saya berani mengajak Tina untuk berkonfrontasi dengan situasinya. Sasaran utama
saya adalah menjernihkan dan merumuskan masalah sebenarnya yang sedang dihadapi
Klien, sambil melaluinya membentuk kesadaran baru dalam dirinya.
2.
Hal-hal
Penting
Perumusan masalah sesungguhnya dan langkah awal
pembentukan kesadaran baru. Proses pemberian insight dengan cara yang tidak
terkesan menggurui dapat berlangsung dengan lancar.
3.
Dinamika
Konseling
Saya lebih banyak mengerahkan akal budi untuk mengimbangi
perasaan-perasaan sehingga berupaya tetap memahami sambil menganalis persoalan
klien.
4.
Catatan
untuk Konseling Selanjutnya
Upaya untuk mendatangkan pasangan klien. Menciptakan
situasi yang tetap kondusif bagi pelaksanaan konseling.
Sesi No : 3
Tanggal : 2 Desember 2011
Lamanya : 40 Menit
1.
Ringkasan
Jalannya Sesi
Klien mengisahkan tentang proses yang terjadi bersama
pasangannya di awal sesi yang ketiga ini. Kembali ia bersharing tentang pola
relasi yang berkembang antara keduanya. Sesi ketiga ini lebih merupakan
pemantapan dari sesi konseling pertama dan kedua. Dalam proses yang tetap
dialogis, saya tetap menyisipkan berbagai insight
kepadanya. Proses sesi yang ketiga ini berlangsung cukup singkat, yakni sekitar
40 menit. Rupa-rupanya pasangannya tidak bersedia untuk terlibat dalam
konseling ini. Meski demikian, klien kelihatan semakin optimis untuk
mengahadapi situasi persoalannya.
2.
Hal-hal
Penting
Proses penjernihan nilai-nilai dan pemantapan kesadaran
berlangsung dengan cukup efektif
3.
Dinamika
Konseling
Sikap optimis yang ditunjukkan klien mendatangkan sedikit
kepuasan dalam diri konselor
4.
Catatan
untuk Konseling Selanjutnya
Proses pengambilan keputusan.
Sesi No : 4
Tanggal : 8 Desember 2011
Lamanya : 50 Menit
1.
Ringkasan
Jalannya Sesi
Saya mengajak klien untuk melihat kembali sesi-sesi
sebelumnya. Saya menarik benang merahnya yang menjadi semacam kesimpulan awal
untuk arah hidup selanjutnya. Dengan pasti saya mengajak klien untuk mulai
menentukan langkah hidup selanjutnya. Tak lupa saya memberikan gambaran tentang
berbagai konsekuensi yang menyertai sebuah pilihan atau keputusan. Dengan cukup
pasti klien menegaskan, sebagaimana sudah mulai terungkap dalam proses-proses
sebelumnya, akan keputusannya untuk meninggalkan situasinya. Tak lupa saya
menyisipkan berbagai tantangan yang akan dihadapinya. Butuh komitmen diri yang
kuat serta tak lupa saya mengajaknya untuk menyerahkan semua keputusan hidupnya
ini dalam penyelenggaraan Tuhan.
2.
Hal-hal
Penting
Kemantapan hati klien untuk melangkah dalam keputusan
meninggalkan situasi hidup lamanya. Insight-insight tentang konsekuensi keputusan
dan resiko-resiko yang menyertai dapat diterima secara positif.
3.
Dinamika
Konseling
Sikap optimis dan rasa syukur yang timbul dalam diri
klien
4.
Catatan
untuk Konseling Selanjutnya
Keterbukaan konselor apabila dibutuhkan lagi kemudian.
[1] Klien saya ini adalah teman yang juga
bersamanya saya pernah berlatih untuk mendengarkan dengan empati. Kebetulan ia
masih bergumul dengan permasalahan yang dihadapinya. Sehubungan dengan tugas
mata kuliah Konseling Pastoral tetapi juga berangkat dari kepedulian terhadap
situasi yang dialami teman saya ini, saya menawarkan diri untuk membantunya
dalam suatu proses konseling yang sederhana.
[2] Sehubungan dengan iman kepercayaan
yang dianut klien, maka dalam proses konselingnya saya tetap berlandaskan
tuntunan iman dan moral Katolik, dengan pendekatan yang lebih dapat diterima
oleh orang Kristen pada umumnya.
[3] Howard Clinebell mengemukakan bahwa
orang yang suara hatinya kurang berkembang memiliki satu atau beberapa ciri
berikut: 1) kekurangan rasa bersalah yang tepat; 2) pengendalian dirinya tidak
efektif; 3) perilakunya tidak bertanggung jawab secara kronis; 4) perasaan dan
hubungannya dangkal; 5) modus operandi (cara penyelenggaraannya manipulatif).
Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar
Pendampingan dan Konseling Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan
Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 198.
[4] Bdk.
Aloysius Lerebulan, “Penyalahgunaan Seks” (Catatan Kuliah Moral Keluarga
STF-SP: 2011), hlm.6.
[5] Kebenaran hasil refleksi dan solusi
dari temannya tersebut mungkin masih dapat didiskusikan lebih lanjut pada
tataran teologi. Saya membatasi diri untuk tidak terlalu jauh mendiskusikannya
bersama klien meskipun sempat mengemukakan cara pandang tentang Allah Yang Maha
Kasih.
[6] Saya mengerti istilah spiritualisasi
sebagai suatu kecenderungan untuk merohanikan persoalan sehingga sering tidak
menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Definisi ini saya kutip berdasarkan
ceramah Pater Hans Kwakman tentang spiritualitas hati sewaktu mengikuti pembinaan di Biara Novisiat
MSC Sananta Sela Karanganyar Jawa Tengah, tahun 2006 silam.
[7] Lih. Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling
Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm.
212-213.
[8] Bdk.
Aloysius Lerebulan, “Penyalahgunaan Seks” (Catatan Kuliah Moral Keluarga
STF-SP: 2011), hlm.1-7.
[9] Model Psiko-Spiritual didasarkan
kepada Model Humanistik Carl R. Roger yang dikembangkan dalam konteks Asia oleh
Ruben M. Tanseco, SJ. Lih. Petrus
Suroto MSC, “Psycho-Spiritual Model” (Catatan Kuliah Konseling Pastoral STF-SP:
2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar