Senin, 06 Februari 2012

LAPORAN PROSES KONSELING


Oleh: Nicolas Renleuw
Sekolah TInggi Filsafat Seminari Pineleng


I.    IDENTIFIKASI MASALAH
Klien saya dalam konseling pastoral ini adalah Tina (nama samaran).[1] Dia adalah teman semeja saya ketika berada di bangku SMP dulu, di kota Tual. Tina seusia dengan saya, 25 tahun. Demikian pula kami berasal dari daerah yang sama yakni Kei, Maluku Tenggara. Agamanya Kristen Protestan. Tepatnya ia adalah warga jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM). Tetapi sejak tinggal di Manado ia bergabung dengan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang baginya memiliki ritus ibadah dan organisasi gerejawi paling mirip dengan GPM.[2] Sudah sekitar 7 tahun Tina berdomisili di Manado, kurang lebih 5 tahun ia kuliah MIPA Matematika di Universitas Sam Ratulangi dan 2 tahun belakangan ia menjadi guru honorer Matematika di salah satu SMA Negeri di Manado. Bagi saya pribadi, secara fisik Tina sedikit menonjol. Mungkin karena faktor darah Cina Ternate dari ibu yang mengalir dalam darahnya.
Saat ini Tina tinggal di rumah kontrakan di daerah Kampus, Malalayang. Tina tinggal bersama dengan Randy, pacarnya kurang lebih sudah 2 tahun belakangan ini. Randy berasal dari Tobelo dan merupakan kakak tingkatnya Tina semasa kuliah dulu. Ia pun saat ini menjadi warga jemaat GMIM. Saat ini Randy sementara melanjutkan studi S2 pada jurusan Ekonomi Manajemen.


II.      PERMASALAHAN YANG DIUNGKAPKAN
Dari identifikasi masalah yang telah kami paparkan sebelumnya, kiranya sudah sedikit terlihat masalah apa yang sedang dialami klien. Dalam proses-proses konseling yang saya lakukan, Tina mengungkapkan masalah yang dihadapinya sebagai berikut.
Kurang lebih dua tahun belakangan, Tina tinggal sekamar bersama dengan Randy pacarnya. Dengan agak malu-malu tetapi dengan cukup rasa percaya ia mengungkapkan bahwa mereka hidup layaknya suami isteri dengan aktifitas seksualnya yang cukup rutin, “Sesuai dengan kebutuhan”, katanya. Menurut Tina, hubungan ini didasarkan pada rasa cinta antara keduanya. Tina mengakui bahwa ada perasaan bersalah dalam hati kecilnya. Terutama juga karena situasi hidup bertetangga yang ‘sedikit’ menggelisahkan hatinya, meski para tetangga sendiri tidak pernah mempermasalahkannya secara terang-terangan. Namun, ia merasa nyaman tinggal bersama dengan pasangannya tersebut. Apalagi keluarganya jauh dan kurang memberikan perhatian baginya. Ia mengungkapkan keunggulan-keunggulan pasangannya tersebut; dari banyak membantunya semasa kuliah hingga memberikan rasa aman baginya. Tak lupa ia menceritakan bahwa pada hari minggu, ia bersama pasangannya sering menyempatkan diri untuk bersama-sama ke gereja. Tina pernah menanyakan soal kejelasan status mereka; ‘mau dibawa ke mana hubungan ini?’. Tetapi jawaban yang diterima dari Randy selalu saja sama; ‘belum saatnya kita membahas masalah ini!’. Rina pun memilih bungkam saja, toh selama ini Randy tetap memberikan rasa nyaman baginya
‘Masalah’nya ialah akhir-akhir ini ia mendapati bahwa pasangannya tersebut telah banyak berubah. Randy lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Kalaupun pulang, kadang sudah lewat tengah malam. Pasangannya itu juga sudah mulai tertutup; menyimpan rapat HP-nya atau menghapus semua SMS masuk dan daftar panggilan yang ada di HP-nya bila Tina memintanya. Juga jarang sekali ia bercerita tentang situasi yang ia alami sepanjang hari. Apalagi intensitas pertemuan mereka semakin terbatas. Pernah suatu malam, ketika Randy telah tidur, Tina menggeledah HP-nya. Ia menemukan sebuah nomor asing di daftar panggilan keluar pada HP tersebut yang mungkin lupa dihapus Randy. Malam itu juga Tina menghubungi nomor tersebut. Suara wanita yang terdengar di ujung telepon sana. Dengan agak emosi, Tina bertanya perihal hubungannya dengan Randy. Dengan banyak desakan dan ancaman, wanita itu ‘hanya’ mengakui Randy sebagai teman yang asyik. Tidak lupa di akhir pembicaraan Tina menegaskan statusnya sebagai ‘pasangan hidup’ Randy. Waktu terus berjalan. Tingkah laku Randy tidak berubah, bahkan semakin aneh. Sering ia juga menghabiskan waktu di depan PS, situasi yang sangat tidak disukai Tina. Terlalu kekanak-kanakan,katanya. Tetapi Tina tak berdaya untuk mengubahnya. Bahkan tak jarang Randy mulai berani membentak Tina bila merasa risih dengan hal-hal yang dipersoalkan Tina.
Melalui suatu investigasi pribadi, Tina akhirnya mengetahui bahwa Randy ‘berselingkuh’ dengan wanita lain, yang pernah diteleponnya. Dalam pengakuannya, secara jujur Randy mengatakan bahwa ini adalah pasangan selingkuhan keduanya. Tina bertekad untuk meninggalkan Randy. Tetapi permohonan maaf Randy yang berlutut dihadapannya disertai janji-janji untuk tidak mengulangi perbuatannya tersebut telah meluluhkan hatinya.
Dalam sesi konseling, Tina mengungkapkan bahwa ia mulai mengalami kebingungan dalam hidupnya. Di satu sisi, ia ‘kelihatannya’ mulai menyadari ketidakberesan hubungannya dengan Randy sehingga terpikirkan untuk meninggalkan pasangannya tersebut dan memulai hidup baru. Tetapi di pihak lain, menurut pengakuannya, ia tidak tega untuk melakukan semua itu mengingat sudah banyak ketergantungan yang dialami oleh keduanya. “Saya harus bagaimana?” Demikianlah pertanyaan yang mendorongnya untuk mencari sebuah konseling.

III.     MASALAH SESUNGGUHNYA (REAL PROBLEM, UNDERFLYING ISSUES)
Dalam menganalisa masalah sebagaimana diungkapkan Tina, saya menemukan sebenarnya ada beberapa masalah yang sedang dihadapi oleh klien saya tersebut. Pertama, saya menyebutnya sebagai krisis suara hati. Entahkah karena kebingungan ataukah karena suara hatinya yang kurang berkembang. Indikasinya ialah bahwa ia tidak dapat mengendalikan perilakunya (bersama pasangan).[3] Di satu sisi, masih ada sedikit suara dari hatinya yang mengingatkan tentang hubungannya dengan pasangan yang menyimpang secara moral. Tetapi di sisi lain, ia tidak berdaya untuk meninggalkan gaya hidup tersebut. Dari penuturannya dapat terlihat pula bahwa hal ini juga disebabkan karena kurangnya kontrol dari masyarakat sekitar (lingkungan) dan keluarga. Bahkan agama pun seakan tak sanggup menyokong suara hatinya, meski ia rajin ke gereja. Mungkinkah karena khotbah-khotbah yang tidak menyentuh dalam dua tahun terakhir ini, ataukah karena sudah terlalu kronis kekeliruan suara hatinya. Ia justru mulai terusik ketika banyak persoalan yang muncul kemudian. Krisis suara hati tersebut menyebabkan kebingungannya dalam mengambil keputusan.
Kedua, masih dalam kaitannya dengan yang pertama, ialah pemahaman yang keliru tentang makna cinta dan seksualitas. Dapat terlihat dengan jelas, bagaimana Tina berusaha membenarkan tindakannya bersama pasangannya atas nama ‘cinta’. Baginya, hubungan seksual itu wajar saja yang penting didasarkan atas rasa ‘cinta’. Dalam bahasa orang modern, yang penting atas rasa suka sama suka. Padahal cinta kasih yang sejati hanya terungkap dalam perkawinan, di mana di dalamnya pasangan suami istri mengungkapkan keterarahannya secara jernih untuk mewujudkan cinta kasih Allah bagi pasangannya masing-masing. Keluarga adalah sarana pengungkapan cinta antara dua pribadi.[4]

IV.    SEJARAH MASALAH
Berdasarkan pemaparan-pemaparan pada bagian sebelumnya, telah diketahui bahwa permasalahan yang dialami Tina sebenarnya adalah pada krisis suara hati dan pemahaman yang keliru tentang makna cinta dan seksualitas. Untuk itu, sejarah masalahnya ini mesti ditelusuri dari situasi keluarga si klien.

1.    Sejarah/Gambaran tentang Situasi Keluarga Klien
Meskipun si Klien adalah teman lama yang cukup dekat dengan saya ketika sama-sama berada di SMP dulu, namun ternyata saya belum mengenal secara mendalam situasi keluarganya. Dalam proses-proses konseling yang dibuat, saya mengetahui bahwa ternyata Tina berasal dari keluarga yang punya sedikit masalah.
Tina adalah anak yang lahir di luar nikah. Sesudah kelahirannya, ayahnya yang adalah seorang tentara sebenarnya ingin menikahi ibunya. Tetapi keluarga sang ibu tidak merestuinya dan menentang hubungan mereka dengan sangat keras karena alasan latar belakang keluarga dan perbedaan keyakinan. Keluarga ayahnya beragama katolik dan berasal dari Kei. Sementara keluarga ibunya adalah keturunan Cina Ternate yang beragama Kristen Protestan. Meski Ayahnya bersedia pindah agama, tetapi toh hal itu tidak merubah pendirian dari keluarga pihak ibu. Bahkan sesudah kelahiran Tina. Pada akhirnya ibunya menikahi pria lain pilihan orang tuanya. Sementara ayahnya juga menikah dengan wanita lain yang juga berteman dekat dengan ibunya yang juga beragama Kristen Protestan. Ayahnya pun akhirnya memeluk agama Kristen Protestan. Dalam kesepakatan, Tina akhirnya dibesarkan oleh keluarga baru ayahnya bersama dengan ibu tiri.
Walaupun dibesarkan oleh ayah dan ibu tirinya, tetapi sebenarnya Tina mendapatkan perhatian yang cukup besar dan tidak dibedakan dengan adik-adiknya yang lain. Ketika duduk di bangku kelas 5 SD, atas berbagai pertimbangan ayah dan ibu tirinya menceritakan situasi keluarga sebenarnya kepadanya. Kebetulan relasi keluarganya dengan keluarga ibu kandungnya pun terbilang tetap terjalin dengan sangat baik. Sehingga Tina memiliki kerinduan untuk bertemu  ibu kandungnya. Bahkan setahun Tina diasuh oleh keluarga baru ibu kandungnya di Ternate. Ada penerimaan dari baik keluarga ayah maupun ibunya. Memasuki bangku SMP, Tina kembali tinggal bersama ayah dan ibu tirinya di Tual. Waktu terus bergulir.
Memasuki bangku SMA, ibu kandungnya bercerai dari suaminya. Meski situasi ekonomi ibu kandungnya yang sudah mapan tidak terpengaruh, namun tentu saja hal itu turut memberikan dampak bagi anak-anaknya. Sejak perceraian tersebut, relasi antara keluarga ibu kandungnya (Tina punya seorang adik tiri dari ibu kandungnya) dan keluarganya semakin dekat. Komunikasi merekapun semakin intens. Dan bagi Tina, ia merasa enjoy saja dengan situasi ini. Bahkan ia merasa senang karena memiliki dua orang mama.
Saya berpendapat bahwa situasi keluarga yang demikian mungkin saja turut membentuk perspektif Tina yang keliru mengenai masalah cinta dan keluarga.

2.    Relasi dengan Randy
Selepas bangku sekolah menengah, Tina memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Manado. Jurusan Matematika Fakultas MIPA Universitas Sam Ratulangi menjadi pilihannya. Perkenalannya dengan Randy terjadi semasa kuliah ini. Randy adalah mahasiswa jurusan Ekonomi. Kakak tingkatnya setahun. Keaktifannya dalam organisasi mahasiswa kampus menjadikan Randy cukup populer, hingga lintas fakultas.
Perkenalan dan kedekatan relasi mereka bermula ketika mereka sama-sama tergabung dalam wadah salah satu kerukunan mahasiswa kedaerahan. Pertemuan yang intens antara keduanya pun menjadi sering terjadi. Apalagi wadah ini memiliki kegiatan-kegiatan rutin seperti ibadah mingguan yang memungkinkan intensitas pertemuan keduanya. Namun saling ketertarikan atau perasaan jatuh cinta antara keduanya terjadi ketika mereka sama-sama duduk di kepengurusan wadah kerukunan mahasiswa tersebut. Randy yang semester tujuh menjadi ketua, sedangkan Tina yang semester lima menjabat sekretaris. Sejak saat itulah mereka berpacaran.
Di akhir semester delapan, Tina memutuskan untuk memanfaatkan waktu liburan panjang kampus untuk pulang ke Tual. Sekembalinya dari Tual, Tina mesti mencari kos-kosan baru mengingat sebelum liburan panjang ia telah memutuskan masa kontraknya dengan tempat kos sebelumnya. Randy menawarinya untuk tinggal ‘sementara waktu’ di rumah kontrakannya. Rumah tersebut dikontrak Randy bersama-sama beberapa temannya yang juga kebetulan sama-sama berasal dari Maluku Utara. Tanpa ragu-ragu, Tina pun menyetujui tawaran tersebut. Awalnya mereka masih tinggal berbeda kamar, tetapi kemudian mereka pun akhirnya memutuskan untuk tinggal sekamar layaknya pasangan suami istri. Situasi yang berlangsung hingga dua tahun kemudian.
Sebagaimana diungkapkan oleh klien, bahwa berbagai dinamika yang terjadi dalam hubungan keduanya telah mendorongnya untuk meminta kejelasan dari pasangannya. Harapannya mereka bisa memasuki tahapan yang lebih serius dalam hubungannya. Namun, Randy masih tetap saja ‘menggantung’ hubungan keduanya. Meski sikapnya sudah kembali berubah manis bagi Tina. Pada situasi terakhir inilah Tina mengalami kebimbangan yang serius untuk mengambil keputusan bagi kehidupan selanjutnya.

3.    Cara Klien Mengatasi Masalah
Tina menuturkan bahwa masalah yang sedang dihadapinya ini pernah direfleksikannya. Dalam permenungannya tersebut, ia menengok kembali perjalanan hidupnya. Ada satu pengalaman menarik yang disharingkannya. Ia mengisahkan bahwa ketika masih kuliah dulu, kurang lebih selama tiga tahun ia terlibat dalam pelayanan gereja sebagai Pengasuh dalam Sekolah Minggu. Awal semester sembilan, sejak pindah tempat tinggal dan berdomisili bersama Randy, ia meninggalkan pelayanannya tersebut tanpa pemberitahuan kepada para pengurus. Ia menghubungkan hal ini dengan situasi hidupnya saat ini. Ia beranggapan bahwa masalah yang menimpanya ini merupakan “hukuman” dari Tuhan atas perbuatannya meninggalkan pelayanan. Masalahnya ialah ia merasa malu untuk kembali pada pelayanan tersebut. Ia hanya berlari pada doa pribadi, mendekatkan diri pada Tuhan memohon pengampunan kepada Tuhan. Hal ini pernah disharingkan kepada salah seorang temannya yang dianggapnya punya kehidupan rohani yang baik. Dan solusi yang ditawarkan pun sama. ‘Konselor’nya itu mengaminkan refleksinya; bahwa masalah yang dihadapinya adalah akibat kesalahannya meninggalkan pelayanan sehingga solusinya ialah perbanyak doa dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Saya pribadi berpendapat bahwa meski tidak keliru sama sekali[5] tetapi solusi semacam ini dapat saja jatuh pada spiritualisasi[6] sehingga tidak didukung langkah konkret untuk berkembang. Bahkan si klien bisa saja jatuh pada masalah baru yakni perasaan bersalah yang berlebihan.
 Langkah maju yang telah dibuat oleh klien dalam menghadapi persoalannya ialah mulai ada kesadaran bahwa ia sedang berada dalam perilaku menyimpang. Kesadarannya telah mendorongnya untuk mencoba membicarakan masa depan hubungan keduanya dengan harapan hubungan ini semakin dibawa kepada jenjang yang serius yakni pernikahan. Namun, sikap pasangannya yang belum berani berkomitmen dalam kehidupan keluarga menyebabkan ia akhirnya tetap bertahan dalam situasi ini. Sementara ia sendiri mengakui bahwa mereka masih sering mengadakan hubungan seksual layaknya suami-istri. Ada kerinduan dalam dirinya untuk mulai mengakhiri situasi mereka ini, tetapi ia seakan tak berdaya untuk keluar dari lingkaran setan yang telah menjeratnya ini.

V.     PERENCANAAN KONSELING/TREATMENT PLAN
Dalam proses konseling ini, saya menetapkan beberapa tujuan yakni tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Sesudahnya saya menentukan bayangan strategi yang hendak saya gunakan dalam proses konseling. Pada bagian ini juga akan dipaparkan ringkasan sesi konseling yang telah diselenggarakan.

1.    Tujuan Konseling
a.    Jangka Panjang
Tujuan jangka panjang konseling berkaitan dengan idealisme yang hendak dicapai melalui proses konseling. Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi klien, maka idealisme yang hendak dicapai ialah bagaimana agar klien dapat berproses untuk menjernihkan suara hatinya. Sehubungan dengan ini, saya mendasarkan proses ini pada teori Geoffrey Petterson dan Howard Clinebell.[7]
Petterson mengemukakan enam ciri khas suara hati yang sehat dan dewasa berdasarkan sudut kehidupan dan pengajaran Kristus.
(1)  Suara hati yang sehat adalah suara hati yang positif, suara hati yang bebas. Melalui kasih Allah ia dibebaskan dari kepatuhan dan paksaan untuk mencocokkan diri pada kode legalistik atas tekanan kelompok.
(2)  Suara hati terbentuk oleh partisipasi dalam persekutuan (komunitas) Kristen, khususnya dalam kelompok kecil yang memelihara suara hati, yang melaluinya panggilan Allah disampaikan paling cepat dan mudah.
(3)  Suara hati terus menerus bertumbuh, yang dibangunkan menuju pembaruan dengan menghadapi krisis yang menantang kelemahan etis dan membiarkan kita menemukan bidang baru dari kebutuhan manusia.
(4)  Suara hati terpadu, yang memanggil orang menuju keutuhan penuh dari kemanusiaannya.
(5)  Suara hati mendampingi dalam arti menolong orang lain untuk bertumbuh dan menerima orang lain dalam pertumbuhan kita sendiri.
(6)  Suara hati bertanggung jawab secara sosial dan dalam pendampingannya ada ke-inklusif-an global.
Cinebell menambahkan dua ciri ke dalam daftar Peterson:
(7)  Suara hati yang sehat dan dewasa adalah suara hati yang mengandung kapasitas kepriaan dan kewanitaan.
(8)  Sekarang ini, suara hati yang sehat haruslah diorientasikan untuk memberi prioritas tertinggi untuk nilai perjuangan kelangsungan hidup kemanusiaan.
Selain itu, krisis suara hati yang dihadapi Tina ialah kurangnya pemahaman tentang idealisme cinta dan seksualitas. Karena itu saya mendasarkan pula proses konseling ini pada pandangan cinta dan seksualitas menurut ajaran Moralitas Katolik yang kiranya juga berlaku universal, yakni sebagai berikut.[8]
Seks adalah hal yang membagi makhluk hidup ke dalam kedua kelompok atau jenis: pria dan wanita. Maka seks bukan merupakan faktor tambahan saja. Sementara seksualitas berarti segala unsur yang menjadikan seseorang sungguh-sungguh pria atau wanita. Seksualitas mencakup seluruh aspek kepribadian: psikologis, biologis, sosial, budaya, dan spiritual. Seks merupakan bagian dari seksualitas atau dengan kata lain seks manusia ada di dalam seksualitasnya. Makna perbedaan seksualitas ialah supaya manusia saling melengkapi dan menyempurnakan. Bukan yang satu lebih unggul dari yang lain. Tanpa relasi seksualitas, manusia tampil dalam kekurangan dan ketidaklengkapan. Seksualitas menggerakkan manusia untuk keluar diri dan terarah ke jenis seks lain (sifat sosial). Dalam relasi tersebut, ada yang ingin menguasai, tetapi kemudian berkembang positif: saling belajar dan saling menyempurnakan.
Persamaan seks manusia dan binatang adalah adanya kecenderungan berhubungan seks (aspek biologis). Sedangkan perbedaannya ialah bahwa seks manusia bersifat manusiawi: dikendalikan akal budi dan bermakna luas. Karena itu aktifitas seksualnya seharusnya merupakan tindakan pemberian diri secara total yang berlandaskan cinta dan mengarah kepada perpaduan sempurna antara dua pribadi dari masing-masing jenis seks. Sementara pada binatang aktifitas seksualnya hanya berdasarkan naluri: sekadar pemuas nafsu dan alat reproduksi semata.
Oleh karena itu, pada manusia hubungan seks perlu dilihat sebagai pengungkapan cinta. Tindakan seks adalah wujud penyerahan diri utuh karena cinta murni antara kedua pihak untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Maka bayi yang lahir darinya dipandang sebagai buah kasih yang perlu dirawat, dipelihara, dibesarkan dan dididik dengan kasih sayang. Singkatnya, seks adalah sarana untuk membahasakan cinta dan kasih sayang demi kebahagiaan bersama dan hanya dibenarkan sejauh digunakan utk maksud itu. Wajar bila seks manusia perlu diatur dalam aturan-aturan dan hukum menurut ketentuan etis-moral dan dilindungi undang-undang.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa keluarga merupakan sarana pengungkapan cinta antara dua pribadi. Keluarga adalah sarana bagi kedua pribadi yang berbeda seks mengungkapkan diri dan cintanya bukan untuk kepentingan pribadi tetapi untuk kepentingan bersama (unsur tanggung jawab). Relasi cinta ini dipertahankan seumur hidup dalam satu persekutuan hidup. Yang ditekankan antara lain unsur pengorbanan diri: saling memberi dan menerima.

b.    Jangka Pendek
Tujuan jangka pendek berkaitan dengan langkah konkret yang hendak diambil sesudah atau sementara proses konseling berlangsung. Sesudah menuntun klien untuk berproses menjernihkan suara hatinya, perlahan-lahan saya menuntunnya untuk mengambil keputusan yang jelas bagi kehidupannya selanjutnya. Ada dua pilihan besar yang coba saya tawarkan sambil tak lupa memberikan konsekuensi-konsekuensi pilihan tersebut. Pertama, mendesak pasangannya untuk memperjelas hubungan mereka dengan segera melangkah ke proses pernikahan. Dan kedua, berpisah dengan tegas. Yang jelas ia bersama pasangannya harus menghentikan kebiasaan seks di luar nikah yang sering mereka lakukan. Untuk itu saya menganjurkan agar Tina segera mencari tempat tinggal baru.

2.    Strategi Dasar Konseling.
Dalam prosesnya, konseling ini berkiblat pada prinsip konseling untuk orang yang lemah suara hatinya, didasarkan pada pendekatan terapi-realitas (reality-therapy approach). Prinsip-prinsip itu antara lain sebagai berikut.
(1)  Membangun hubungan yang akrab.
(2)  Memperhadapkan orang dengan tabiat perilakunya yang merusak diri sendiri dan menolak kenyataan.
(3)  Berusaha merintangi perilaku yang tidak bertanggung jawab dan keterlaluan.
(4)  Memberikan penghargaan terhadap perilaku yang bertanggung jawab dengan persetujuannya. Membantu orang belajar memuaskan kebutuhannya dengan cara yang konstruktif secara sosial dan berorientasi pada kenyataan.
(5)  Menyelidiki berbagai aspirasi orang dan membantunya membuat dan melaksanakan rencana yang realistis dan memuaskan untuk masa depan.
Selain itu, tidak lupa saya pun mendasarkan diri pada model psiko-spiritual dengan tahapan-tahapan konseling Catarsis-Insight-Aksi dan empati sebagai ketrampilan dasarnya.[9]

3.    Ringkasan Sesi Konseling (Progress Report dan Penyesuaian Treatment Plan)
Konseling ini akhirnya berlangsung sebanyak empat kali dengan durasi waktu yang bervariasi. Dalam sesi pertama, saya berfokus pada tahapan catharsis. Karena itu sikap dasar yang saya ambil ialah mendengarkan dengan empati. Dalam prosesnya, kami sempat mengawali percakapan dengan berbasa basi seputar masa sekolah dulu. Ini merupakan salah satu strategi yang saya terapkan untuk membangun hubungan yang akrab dengan klien. Kebetulan klien adalah seorang teman yang sudah cukup dekat sehingga keakraban ini tidak cukup sulit dibangun. Kemudian perlahan-lahan saya menuntunnya untuk mulai mengungkapkan permasalahannya. Saya membiarkan Tina untuk mengeksplorasi masalahnya sebebas-bebasnya. Sikap dasar yang saya ambil ialah mendengarkan dengan empati. Namun saya juga sesekali tetap mengarahkan pembicaraan sehingga Tina dapat mengungkapkan secara detail situasi yang sedang dihadapinya kini. Beberapa saat sesudah Tina mengungkapkan segala sesuatunya, saya kembali mengajaknya untuk berbasa-basi dalam rangka mencairkan situasi. Namun di balik itu ada juga misi untuk menelusuri situasi keluarganya. Saya bertanya dengan basa-basi dan akhirnya ia menceritakan pula situasi keluarga asalnya. Sesi pertama ini memakan waktu yang cukup lama yakni hampir 100 menit. Meski demikian, saya tidak merasa jenuh dan cukup puas dengan proses saat ini.
Di awal sesi kedua, saya masih mencoba memberikan kesempatan kepada Tina untuk mengungkapkan permasalahannya yang mungkin belum diungkapkan. Rupanya ia lebih banyak mengulang kembali apa yang telah disampaikan kepadanya dalam sesi sebelumnya. Kemudian dalam proses yang lebih dialogis dengan Tina saya mencoba mengeksplorasi masalah yang dihadapinya lewat perspektif nilai-nilai Kristiani. Saya memberikan berbagai insight dengan bungkusan sharing dan refleksi yang dibandingkan dengan berbagai pengalaman yang terjadi. Tidak lupa saya berani mengajak Tina untuk berkonfrontasi dengan situasinya. Sasaran utama saya adalah menjernihkan dan merumuskan masalah sebenarnya yang sedang dihadapi Klien, sambil melaluinya membentuk kesadaran baru dalam dirinya. Di akhir sesi ini, saya mengajaknya untuk coba mengkomunikasikan kesadaran barunya kepada pasangannya. Saya juga menawarkan kepadanya untuk melibatkan pasangannya dalam sesi konseling selanjutnya. Ia sangat setuju untuk ajakan yang pertama. Sedangkan tawaran kedua ditanggapinya dengan sedikit ragu-ragu namun tetap berjanji untuk mengusahakannya. Sesi ini berjalan kurang lebih 60 menit.
Rupa-rupanya pasangannya tidak bersedia untuk terlibat dalam konseling ini. Meski demikian, klien kelihatan semakin optimis untuk mengahadapi situasi persoalannya. Ia mengisahkan tentang proses yang terjadi bersama pasangannya di awal sesi yang ketiga ini. Kembali ia bersharing tentang pola relasi yang berkembang antara keduanya. Sesi ketiga ini lebih merupakan pemantapan dari sesi konseling pertama dan kedua. Dalam proses yang tetap dialogis, saya tetap menyisipkan berbagai insight kepadanya. Proses sesi yang ketiga ini berlangsung cukup singkat, yakni sekitar 40 menit.
Dalam sesi yang terakhir, saya mengajak klien untuk melihat kembali sesi-sesi sebelumnya. Saya menarik benang merahnya yang menjadi semacam kesimpulan awal untuk arah hidup selanjutnya. Dengan pasti saya mengajak klien untuk mulai menentukan langkah hidup selanjutnya. Tak lupa saya memberikan gambaran tentang berbagai konsekuensi yang menyertai sebuah pilihan atau keputusan. Dengan cukup pasti klien menegaskan, sebagaimana sudah mulai terungkap dalam proses-proses sebelumnya, akan keputusannya untuk meninggalkan situasinya. Tak lupa saya menyisipkan berbagai tantangan yang akan dihadapinya. Butuh komitmen diri yang kuat serta tak lupa saya mengajaknya untuk menyerahkan semua keputusan hidupnya ini dalam penyelenggaraan Tuhan. Di akhir konseling ini, tidak lupa saya menyatakan keterbukaan saya untuk konseling atau pun curhat pada waktu lain bila dibutuhkan.

VI.    DINAMIKA KONSELING
Ada berbagai perasaan yang berkembang selama proses konseling ini. Di sesi awal konseling ini, klien terlihat sedikit gugup, cemas dan malu khususnya dalam menuturkan masalahnya. Namun situasi ini tidak berlangsung lama. Keakraban dan situasi kodusif yang kami bangun mengantarkannya untuk kemudian lebih tenang dan jernih dalam mengungkapkan situasinya. Secara umum, dalam sesi-sesi konseling selanjutnya saya melihat klien lebih merasa nyaman sehingga proses ini dapat berjalan dengan cukup lancar. Meskipun demikian, sesekali klien merasa terusik akibat beberapa konfrontasi yang saya paparkan. Ia sendiri mengungkapkannya. Tetapi kemudian ia bisa menerima segala konfrontasi itu karena dorongan yang kuat untuk berubah dalam dirinya. Di akhir-akhir konseling ini, saya melihat sebuah kemantapan hati dan optimisme dalam diri klien untuk melangkah maju dalam hidupnya.
Sementara itu, sebagai konselor saya saya pun bergumul dengan berbagai perasaan yang berkecamuk terutama untuk belajar mendengarkan dengan empati. Saya mengalami bahwa memang tidak gampang memang untuk bisa berempati. Keutamaan ini hanya mugnkin terjadi jika mau untuk keluar sejenak dari dalam diri. Keluar dari dalam diri berarti meninggalkan segala kemapanan, kenyamanan, dan kebutuhan yang ada dalam diri. Dan kualitas lain yang dibutuhkan dan tak kalah pentingnya tentu saja ialah kesabaran. Hanya dengan demikian dapat mungkin bagi kita untuk masuk dan tinggal sejenak dalam kehidupan orang lain.
Di awal konseling ini, saya sempat bergumul dengan rasa ingin menghakimi klien yang timbul dari dalam diri. Saya merasakan secara mencolok perbedaan nilai dan pandangan di antara kami. Saya berusaha professional untuk dapat mengendalikan diri secara positif. Dan saya merasa senang karena akhirnya dapat melihat persoalan secara jernih. Saya bersyukur bahwa meski dengan sedikit konfrontasi dalam diri, saya merasa cukup berhasil dalam kualitas mendengarkan dengan empati ini.
Di sesi-sesi selanjutnya, saya mengerahkan lebih banyak akal budi untuk mengimbangi perasaan. Saya berusaha seobjektif mungkin dalam meneropong permasalahan yang dihadapi klien ini. Sikap ini agak terbantu klien sendiri begitu blak-blakan mengungkap persoalannya sehingga saya bisa mengerti dan menganalisis permasalahan yang dihadapi klien.




VII.   LAMPIRAN


PROGRESS REPORT PROSES KONSELING

Nama  : Nicolas Renleuw
Tanggal Penulisan : 15 Desember 2011

Klien                : Tina Renyaan

Sesi No           : 1
Tanggal          : 21 November 2011
Lamanya        : 93 Menit

1.    Ringkasan Jalannya Sesi
Dalam prosesnya, kami sempat mengawali percakapan dengan berbasa basi seputar masa sekolah dulu. Ini merupakan salah satu strategi yang saya terapkan untuk membangun hubungan yang akrab dengan klien. Kemudian perlahan-lahan saya menuntunnya untuk mulai mengungkapkan permasalahannya. Saya membiarkan Tina untuk mengeksplorasi masalahnya sebebas-bebasnya. Sikap dasar yang saya ambil ialah mendengarkan dengan empati. Namun saya juga sesekali tetap mengarahkan pembicaraan sehingga Tina dapat mengungkapkan secara detail situasi yang sedang dihadapinya kini.
2.    Hal-hal Penting
Dalam sesi ini, ada beberapa hal penting yang perlu dicatat. Pertama saya bisa menangkap secara detail permasalahan yang diungkapkan oleh klien. Kedua, saya senang karena klien boleh melewati proses catharsis ini dengan lancar. Hal ini ditunjang oleh situasi kondusif dan keakraban yang kami bangun.
3.    Dinamika Konseling
Pada awalnya klien cukup cemas, gugup, dan malu. Tetapi situasi kondusif yang terjadi menyebabkan hal itu tidak bertahan lama. Klien dapat mengungkapkan secara detail permasalahan yang dihadapinya. Saya sendiri bergumul dengan perasaan ingin menghakimi yang sempat muncul. Tetapi akhirnya saya dapat masuk ke dalam situasi konseli untuk memahami apa yang sedang dihadapinya.
4.    Catatan untuk Konseling Selanjutnya
Mengeksplorasi permasalahan yang dialami klien dari berbagai perspektif dan merumuskan persoalan sebenarnya.

Sesi No           : 2
Tanggal          : 26 November 2011
Lamanya        : 60 Menit

1.    Ringkasan Jalannya Sesi
Saya masih memberikan beberapa kesempatan kepada Tina untuk mengungkapkan permasalahannya yang mungkin belum terungkap. Kemudian dalam proses yang lebih dialogis saya mencoba mengeksplorasi masalah yang dihadapinya lewat perspektif nilai-nilai Kristiani. Saya memberikan berbagai insight dengan bungkusan sharing dan refleksi yang dibandingkan dengan berbagai pengalaman yang terjadi. Tidak lupa saya berani mengajak Tina untuk berkonfrontasi dengan situasinya. Sasaran utama saya adalah menjernihkan dan merumuskan masalah sebenarnya yang sedang dihadapi Klien, sambil melaluinya membentuk kesadaran baru dalam dirinya.
2.    Hal-hal Penting
Perumusan masalah sesungguhnya dan langkah awal pembentukan kesadaran baru. Proses pemberian insight dengan cara yang tidak terkesan menggurui dapat berlangsung dengan lancar.
3.    Dinamika Konseling
Saya lebih banyak mengerahkan akal budi untuk mengimbangi perasaan-perasaan sehingga berupaya tetap memahami sambil menganalis persoalan klien.
4.    Catatan untuk Konseling Selanjutnya
Upaya untuk mendatangkan pasangan klien. Menciptakan situasi yang tetap kondusif bagi pelaksanaan konseling.

Sesi No           : 3
Tanggal          : 2 Desember 2011
Lamanya        : 40 Menit
1.    Ringkasan Jalannya Sesi
Klien mengisahkan tentang proses yang terjadi bersama pasangannya di awal sesi yang ketiga ini. Kembali ia bersharing tentang pola relasi yang berkembang antara keduanya. Sesi ketiga ini lebih merupakan pemantapan dari sesi konseling pertama dan kedua. Dalam proses yang tetap dialogis, saya tetap menyisipkan berbagai insight kepadanya. Proses sesi yang ketiga ini berlangsung cukup singkat, yakni sekitar 40 menit. Rupa-rupanya pasangannya tidak bersedia untuk terlibat dalam konseling ini. Meski demikian, klien kelihatan semakin optimis untuk mengahadapi situasi persoalannya.
2.    Hal-hal Penting
Proses penjernihan nilai-nilai dan pemantapan kesadaran berlangsung dengan cukup efektif
3.    Dinamika Konseling
Sikap optimis yang ditunjukkan klien mendatangkan sedikit kepuasan dalam diri konselor
4.    Catatan untuk Konseling Selanjutnya
Proses pengambilan keputusan.

Sesi No           : 4
Tanggal          : 8 Desember 2011
Lamanya        : 50 Menit
1.    Ringkasan Jalannya Sesi
Saya mengajak klien untuk melihat kembali sesi-sesi sebelumnya. Saya menarik benang merahnya yang menjadi semacam kesimpulan awal untuk arah hidup selanjutnya. Dengan pasti saya mengajak klien untuk mulai menentukan langkah hidup selanjutnya. Tak lupa saya memberikan gambaran tentang berbagai konsekuensi yang menyertai sebuah pilihan atau keputusan. Dengan cukup pasti klien menegaskan, sebagaimana sudah mulai terungkap dalam proses-proses sebelumnya, akan keputusannya untuk meninggalkan situasinya. Tak lupa saya menyisipkan berbagai tantangan yang akan dihadapinya. Butuh komitmen diri yang kuat serta tak lupa saya mengajaknya untuk menyerahkan semua keputusan hidupnya ini dalam penyelenggaraan Tuhan.
2.    Hal-hal Penting
Kemantapan hati klien untuk melangkah dalam keputusan meninggalkan situasi hidup lamanya. Insight-insight tentang konsekuensi keputusan dan resiko-resiko yang menyertai dapat diterima secara positif.
3.    Dinamika Konseling
Sikap optimis dan rasa syukur yang timbul dalam diri klien
4.    Catatan untuk Konseling Selanjutnya
Keterbukaan konselor apabila dibutuhkan lagi kemudian.


[1] Klien saya ini adalah teman yang juga bersamanya saya pernah berlatih untuk mendengarkan dengan empati. Kebetulan ia masih bergumul dengan permasalahan yang dihadapinya. Sehubungan dengan tugas mata kuliah Konseling Pastoral tetapi juga berangkat dari kepedulian terhadap situasi yang dialami teman saya ini, saya menawarkan diri untuk membantunya dalam suatu proses konseling yang sederhana.
[2] Sehubungan dengan iman kepercayaan yang dianut klien, maka dalam proses konselingnya saya tetap berlandaskan tuntunan iman dan moral Katolik, dengan pendekatan yang lebih dapat diterima oleh orang Kristen pada umumnya.
[3] Howard Clinebell mengemukakan bahwa orang yang suara hatinya kurang berkembang memiliki satu atau beberapa ciri berikut: 1) kekurangan rasa bersalah yang tepat; 2) pengendalian dirinya tidak efektif; 3) perilakunya tidak bertanggung jawab secara kronis; 4) perasaan dan hubungannya dangkal; 5) modus operandi (cara penyelenggaraannya manipulatif). Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 198.
[4] Bdk. Aloysius Lerebulan, “Penyalahgunaan Seks” (Catatan Kuliah Moral Keluarga STF-SP: 2011), hlm.6.
[5] Kebenaran hasil refleksi dan solusi dari temannya tersebut mungkin masih dapat didiskusikan lebih lanjut pada tataran teologi. Saya membatasi diri untuk tidak terlalu jauh mendiskusikannya bersama klien meskipun sempat mengemukakan cara pandang tentang Allah Yang Maha Kasih.
[6] Saya mengerti istilah spiritualisasi sebagai suatu kecenderungan untuk merohanikan persoalan sehingga sering tidak menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Definisi ini saya kutip berdasarkan ceramah Pater Hans Kwakman tentang spiritualitas hati  sewaktu mengikuti pembinaan di Biara Novisiat MSC Sananta Sela Karanganyar Jawa Tengah, tahun 2006 silam.
[7] Lih. Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 212-213.
[8] Bdk. Aloysius Lerebulan, “Penyalahgunaan Seks” (Catatan Kuliah Moral Keluarga STF-SP: 2011), hlm.1-7.
[9] Model Psiko-Spiritual didasarkan kepada Model Humanistik Carl R. Roger yang dikembangkan dalam konteks Asia oleh Ruben M. Tanseco, SJ. Lih. Petrus Suroto MSC, “Psycho-Spiritual Model” (Catatan Kuliah Konseling Pastoral STF-SP: 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar