Sabtu, 11 Februari 2012

…Matoaku Sayang, Matoaku Malang…

by Nick Renleuw 


Waktu pertama kali diperkenalkan dengan buah Matoa di Pranovisiat MSC Pineleng tahun 2005, beta punya lidah tidak terlalu setuju untuk menerima rasanya. Aneh, begitu pesan yang dikirimkan salah satu anggota panca indra ini ke otakku. Yang lebih aneh lagi, beberapa tahun kemudian ketika menetap di komunitas Skolastikat MSC Pineleng, beta jadi begitu suka pada buah yang satu ini. Tidak salah kalau Rene Descartes bilang panca indra itu bisa menipu.

Kalau lagi musimnya, pohon Matoa besar yang terletak di belakang komunitas menjadi tempat yang ramai. Biasanya satu dua orang frater naik ke atas pohon dan sebagian besar menunggu di bawah. Selalu terjadi diskusi antara pemanjat dan rekan-rekan di bawah tentang cara terbaik menggaet buah-buah Matoa untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin. Tak jarang para penunggu di bawah membantu pula dengan beberapa trik klasik seperti melempar dengan batu atau kayu. Trik yang cukup efektif ialah ketika para pemanjat mengikatkan tali di salah satu cabang yang tak bisa dijangkau dan rekan-rekan di bawah ramai-ramai menarik atau menggoyang-goyangkan tali tersebut. Hasilnya ialah hujan Matoa. Para penikmat di bawah kemudian memanen hasilnya dan dibagi bersama. Tak perlu khawatirkan para pemanjat karena mereka juga pasti sedang menikmati hasil yang sama di atas.
Hal yang yang jauh lebih penting dari sekadar deskripsi di atas ialah kebersamaan di seputaran pohon Matoa tersebut. Persaudaraan, atau yang lebih keren disebut konfraternitas, secara konkret dibangun dalam moment-moment seperti ini. Persaudaraan dan kebersamaan di seputaran pohon Matoa ini sangat sering terjadi, bahkan di luar musim Matoa. Seputaran pohon Matoa menjadi tempat berkumpul untuk berbagai aktifitas nonformal seperti bercerita MOP alias humor, bermain takrauw dan gawang mini, fitness, ataupun saling bersharing secara serius pada moment ulang tahun. Hmm, memang terlalu indah untuk dilupakan.


KRONOLOGI GERAKAN MATOA
“Kalian bertiga diminta untuk mengundurkan diri”. Inilah kalimat yang diucapkan Pater Superior kepada beta dengan kedua orang teman, sebagai sari pati keputusan staf menanggapi sweeping penggunaan HP di dalam komunitas. Menurut beta,ada ketidakadilan di sana mengingat ada 90% anggota komunitas yang menggunakan HP secara illegal. Beta masih ingat kalimat-kalimat lain yang diucapkan Pater Superior yang sama di refter, di hadapan seluruh anggota komunitas , ketika menyambut beta dengan kedua orang teman ketika kembali dari ‘masa hukuman’, “Selamat bergabung kembali kepada ketiga teman kita, dan pengalaman mereka menjadi juga pengalaman kita. Apabila kedapatan lagi siapa pun yang menggunakan HP tanpa izin, akan langsung dikeluarkan.”

Walaupun tahu bahwa keputusan ini tidak akan berubah sedikitpun, beta menyempatkan diri untuk ‘membela diri’ atau sekurang-kurangnya mengungkapkan isi hati. Dialog yang kemudian terjadi antara beta dengan Pater Superior kira-kira seperti ini.

Beta : “Pater, beta merasa keputusan ini kurang adil!”
Pater Superior (PS): “Kamong (kalian) kan su pernah melakukan yang sama jadi keputusan ini cukup pantas!”
Beta: “Beta merasa sudah dua kali dijatuhkan keputusan tidak adil. Yang pertama, hanya torang tiga orang yang diberi hukuman meski waktu itu sudah jadi rahasia umum bahwa mayoritas anggota komunitas pakai HP secara illegal. “
PS : “Faktanya cuma kamong tiga yang ketahuan (secara formal)!”
Beta: “Karena ketahuan jadi torang lebih buruk di mata staff dibandingkan teman-teman yang tidak ketahuan!”
PS: @#$%^&*

Keluar dari kamar Pater Superior, beta dengan salah seorang teman mulai berdiskusi tentang rencana kehidupan selanjutnya. Seperti biasa seputaran pohon Matoa menjadi tempat sharing kami. Ternyata sudah banyak frater yang berdiskusi dalam kelompok-kelompok kecil di sana. Dari diskusi-diskusi terbatas tersebut mereka tergerak ‘berbuat sesuatu’ untuk ‘menyelamatkan’ kami. Teman-teman lain yang belum hadir diundang untuk terlibat. Terjadi diskusi antara hampir semua orang di situ dari jam 12 malam sampai jam 4 dinihari. Terjadi kesepakatan bersama untuk secara sadar (katanya) menolak keputusan staff. Beta dilema. Di satu sisi, beta senang karena ada kepedulian dari teman-teman. Beta melihat gerakan Matoa ini bukan sebagai gerakan solidaritas kosong semata. Beta kira gerakan ini berangkat dari sebuah kesadaran bahwa kita melakukan pelanggaran yang sama entah sebagai pemilik maupun pengguna jasa HP. Ada unsur tanggung jawab di sana. Tetapi juga bahwa HP sudah menjadi kebutuhan dalam mengembangkan diri, dan bukan lagi suatu barang mewah. Tetapi di sisi lain, sejak awal beta khawatir jangan sampai ada ‘korban’ tambahan karena masalah ini. Karena itu beta tidak lupa mengingatkan konsekuensi dari gerakan Matoa ini. Beberapa teman lain yang lebih senior juga mengingatkan berulang-ulang. Seingat beta hanya ada satu orang teman yang memilih mengundurkan diri dari gerakan ini. Sedangkan yang lainnya sepakat dengan menggebu-gebu sambil mengungkapkan slogan: “satu keluar, semua keluar”

Gerakan Matoa berpuncak pada pembacaan pernyataan sikap hasil kesepakatan bersama lengkap dengan lampiran empat halaman berisi tanda tangan para pembuat sikap. Menanggapi hal itu, Pater Superior memutuskan meliburkan komunitas dari segala aktifitas pembinaan selama dua bulan. Selama masa perantauan, para pengikut gerakan Matoa masih sering berkumpul untuk saling meneguhkan. Tetapi perlahan-lahan mulai terlihat keragu-raguan di antara mereka. Dan akhirnya bisa ditebak: Gerakan Matoa gagal. Baru dua minggu di perantauan, semua anggota komunitas diundang untuk hadir dan berdialog bersama para staff. Yang terjadi ternyata bukanlah dialog, tetapi anggota komunitas diundang hanya untuk mendengarkan keputusan yang sudah disepakati para staff. Tidak salah memang karena beta dan semua anggota komunitas patuh pada sistem hierarki gereja dan kaul-kaul kebiaraan. Beta dengan kedua teman tetap dikeluarkan dan teman-teman lain menghadapi proses lanjut secara pribadi-pribadi. Dan dalam proses situ, banyak pribadi ‘mengakui’ bahwa mereka terpaksa dan digerakkan.Yang lebih menyakitkan ialah sesudah itu beberapa teman lain juga diminta untuk mengundurkan diri karena dianggap sebagai penggagas Gerakan Matoa.

ONE YEAR LATER
Argumen yang dipakai untuk menjudge Gerakan Matoa ialah gagasan para filsuf eksistensialisme bahwa seringkali dalam kebersamaan, otenstisitas seseorang menjadi kabur. Beta bingung. Kalo merasakan ulang atmosfer Gerakan Matoa 11 Februari 2011, kayaknya argumen para filsuf ini pantas dipertanyakan. Tetapi banyak juga tesis rasional yang membenarkan argument ini selama berpuluh-puluh tahun yang kayaknya masuk akal dan susah ditolak. Sebenarnya sikap yang mana yang otentik? Banyak anggota komunitas kemudian mengenang peristiwa 11 Februari 2011 bukan lagi sebagai Gerakan Matoa, tetapi Tragedi Matoa. Salah seorang staff mengemukakan bahwa disebut tragedi karena setan sedang merusak gereja dan tarekat melalui Gerakan Matoa. Tetapi menurut beta, tragedi yang sesingguhnya adalah ketika kita tidak mampu menentukan otentisitas diri kita masing-masing.

Hari ini tepat satu tahun Gerakan Matoa. Beta sekarang menikmati beta pu hidup di sekitaran Pineleng Permai. Satu hal yang beta yakini sejak dulu, Tuhan punya rencana di balik setiap peristiwa. Selain itu beta tetap optimis bahwa perubahan ke arah yang baik, terutama untuk mencapai otentisitas diri itu selalu mungkin. Dan untuk teman-teman yang telah menjadi korban Gerakan Matoa, secara pribadi beta minta maaf. Beta percaya Beliau Di Atas tetap menyertai torang samua dalam torang pe langkah hidup ke depan.

Rasanya belum terlalu lama beta jatuh cinta untuk Matoa, tetapi sekarang nama Matoa dikenang untuk suatu peristiwa yang kurang menyenangkan. Ah, Matoku sayang, Matoaku malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar