Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng
Siapakah
manusia itu? Bagaimana menjadi seorang manusia? Pertanyaan-pertanyaan filosofis
tersebut adalah pertanyaan yang coba dicari jawabannya oleh manusia dari masa
ke masa. Para filsuf dari berbagai zaman telah mencoba memecahkan persoalan
tersebut dengan mengemukakan berbagai definisi tentang kodrat manusia. Walaupun
demikian, tidak satupun dari definisi-definisi tersebut yang mencapai suatu
kepastian tentang siapakah manusia. Mengapa demikian? Jawabannya tidak lain
adalah karena manusia adalah makhluk yang dinamis dan unik. Rumusan definisi
apapun yang coba dikemukakan toh pada akhirnya hanyalah rumusan tentatif saja.
Kalau
memang semua rumusan tentang definisi manusia hanyalah bersifat tentatif saja,
apakah masih mungkin untuk memberikan penegasan: siapakah saya? Sehubungan
dengan persoalan ini, Marcus Aurelius menawarkan konsep to master oneself. Menurutnya, tidak penting untuk menyibukkan diri
dengan berbagai definisi tentang manusia, melainkan manusia harus berusaha
untuk menguasai diri sendiri atau menjadi tuan bagi diri sendiri. Definisi-definisi
tersebut menjadi berguna sejauh membantu manusia untuk dapat menguasai dirinya
sendiri. Dengan kata lain, usaha menjawab pertanyaan siapakah saya bukan
terutama bersifat kognitif yakni sebatas mencari tahu dan menambah pengetahuan
semata. Usaha untuk merumuskan siapakah saya sebagai manusia terutama bersifat
personal-moral, yakni untuk menguasai dan mengarahkan manusia itu sendiri.
Sebagai
seorang calon Imam yang hidup dalam era digital dengan berbagai tawaran yang
menarik, tuntutan untuk to master oneself
menjadi begitu penting. Pengetahuan atau kesadaran bahwa saya adalah seorang
calon imam, dengan segala macam tuntutan hidup dan kualitas yang harus
dimiliki, seharusnya mengarahkan saya untuk menghindari hal-hal yang
bertentangan dengan gaya hidup seorang calon imam, misalnya berpacaran, serta
bertingkah laku sebagaimana seorang calon Imam.
Lebih
jauh, Marcus Aurelius mengemukakan bahwa penguasaan diri bukan terutama
bersifat faktual, tetapi hendaknya bersifat inventif dan inovatif. Memang pada
kenyataannya, manusia adalah makhluk yang dinamis sehingga usaha untuk memahami
dan sampai pada penguasaan diri tersebut harus pula terus berjalan selama masih
menjadi manusia.
Saya
bersyukur karena selama hidup ini saya telah banyak dibantu untuk bukan hanya
memahami tetapi sekaligus menguasai dan mengontrol diri. Sejak tahap awal pembinaan sebagai calon imam,
saya telah dibekali dengan banyak pengetahuan yang mendukung untuk itu seperti
berbagai materi kuliah, seminar dan bahan-bahan pengolahan serta pengalaman
hidup lainnya dalam pembinaan yang intinya membantu saya untuk semakin
berkembang sebagai manusia. Salah satu tantangan terbesar yang memang harus
saya dan manusia mana pun hadapi adalah masalah konsistensi. Dalam bahasa
pembinaan, saya merasa bertanggung jawab untuk konsisten dalam perkembangan
diri. Konsistensi dalam perkembangan diri tidak lain berarti selalu inventif
dan inovatif seperti yang dikemukakan oleh Marcus Aurelius tersebut. Dalam
pengalaman, saya menemukan bahwa salah satu syarat atau metode agar saya dapat
mencapai perkembangan diri yang konsisten adalah adanya waktu hening, entah
melalui refleksi atau pun meditasi dan latihan rohani lainnya. Melalui
refleksi, saya dapat semakin mampu memaksimalkan segala pengetahuan atau
pengenalan diri guna membantu saya dalam mengarahkan hidup ini secara inventif
dan inovatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar