Sabtu, 21 Januari 2012

SIAPAKAH SAYA? Refleksi Filosofis tentang Kodrat Manusia yang Dinamis dan Unik

Oleh: Nicolas Renleuw
Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

Siapakah manusia itu? Bagaimana menjadi seorang manusia? Pertanyaan-pertanyaan filosofis tersebut adalah pertanyaan yang coba dicari jawabannya oleh manusia dari masa ke masa. Para filsuf dari berbagai zaman telah mencoba memecahkan persoalan tersebut dengan mengemukakan berbagai definisi tentang kodrat manusia. Walaupun demikian, tidak satupun dari definisi-definisi tersebut yang mencapai suatu kepastian tentang siapakah manusia. Mengapa demikian? Jawabannya tidak lain adalah karena manusia adalah makhluk yang dinamis dan unik. Rumusan definisi apapun yang coba dikemukakan toh pada akhirnya hanyalah rumusan tentatif  saja.


Kalau memang semua rumusan tentang definisi manusia hanyalah bersifat tentatif saja, apakah masih mungkin untuk memberikan penegasan: siapakah saya? Sehubungan dengan persoalan ini, Marcus Aurelius menawarkan konsep to master oneself. Menurutnya, tidak penting untuk menyibukkan diri dengan berbagai definisi tentang manusia, melainkan manusia harus berusaha untuk menguasai diri sendiri atau menjadi tuan bagi diri sendiri. Definisi-definisi tersebut menjadi berguna sejauh membantu manusia untuk dapat menguasai dirinya sendiri. Dengan kata lain, usaha menjawab pertanyaan siapakah saya bukan terutama bersifat kognitif yakni sebatas mencari tahu dan menambah pengetahuan semata. Usaha untuk merumuskan siapakah saya sebagai manusia terutama bersifat personal-moral, yakni untuk menguasai dan mengarahkan manusia itu sendiri. 

Sebagai seorang calon Imam yang hidup dalam era digital dengan berbagai tawaran yang menarik, tuntutan untuk to master oneself menjadi begitu penting. Pengetahuan atau kesadaran bahwa saya adalah seorang calon imam, dengan segala macam tuntutan hidup dan kualitas yang harus dimiliki, seharusnya mengarahkan saya untuk menghindari hal-hal yang bertentangan dengan gaya hidup seorang calon imam, misalnya berpacaran, serta bertingkah laku sebagaimana seorang calon Imam.

Lebih jauh, Marcus Aurelius mengemukakan bahwa penguasaan diri bukan terutama bersifat faktual, tetapi hendaknya bersifat inventif dan inovatif. Memang pada kenyataannya, manusia adalah makhluk yang dinamis sehingga usaha untuk memahami dan sampai pada penguasaan diri tersebut harus pula terus berjalan selama masih menjadi manusia.

Saya bersyukur karena selama hidup ini saya telah banyak dibantu untuk bukan hanya memahami tetapi sekaligus menguasai dan mengontrol diri.  Sejak tahap awal pembinaan sebagai calon imam, saya telah dibekali dengan banyak pengetahuan yang mendukung untuk itu seperti berbagai materi kuliah, seminar dan bahan-bahan pengolahan serta pengalaman hidup lainnya dalam pembinaan yang intinya membantu saya untuk semakin berkembang sebagai manusia. Salah satu tantangan terbesar yang memang harus saya dan manusia mana pun hadapi adalah masalah konsistensi. Dalam bahasa pembinaan, saya merasa bertanggung jawab untuk konsisten dalam perkembangan diri. Konsistensi dalam perkembangan diri tidak lain berarti selalu inventif dan inovatif seperti yang dikemukakan oleh Marcus Aurelius tersebut. Dalam pengalaman, saya menemukan bahwa salah satu syarat atau metode agar saya dapat mencapai perkembangan diri yang konsisten adalah adanya waktu hening, entah melalui refleksi atau pun meditasi dan latihan rohani lainnya. Melalui refleksi, saya dapat semakin mampu memaksimalkan segala pengetahuan atau pengenalan diri guna membantu saya dalam mengarahkan hidup ini secara inventif dan inovatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar