Oleh:
Nicolas Renleuw
Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng
1.
Pengantar
“Damai di bumi sangat dirindukan
oleh semua orang di sepanjang zaman.” Demikian kalimat awal Ensiklik Pacem
in Terris. Ensiklik Pacem in Terris (damai di bumi)
merupakan salah satu ensiklik yang dikeluarkan oleh Beato Yohanes XXIII.
Ensiklik ini dikeluarkan pada tanggal 11 April 1963.
Walaupun telah lama diedarkan dan
telah banyak terjadi perubahan dalam dunia, tetapi kelihatan Ensiklik ini
masih relevan untuk situasi dunia kita. Suatu dunia dan abad yang baru.
Ensiklik ini masih menggema dan menyuarakan perdamaian bagi seluruh umat
manusia dewasa ini.
Apa yang dikatakan dalam Ensiklik
tersebut merupakan suara Gereja yang menolak segala bentuk kekerasan, peperangan,
dan pelanggaran hak asasi manusia. Yang ditekankan dalam Ensiklik yaitu,
penolakan terhadap hal-hal yang berlawanan dengan perdamaian.
Mengapa? Karena dari hari ke hari
perdamaian semakin menjauh dari dunia ini. Dalam suasana demikian, manusia dihantui
oleh rasa takut, cemas, dan kuatir yang tak kunjung berakhir. Padahal, setiap
manusia dalam dirinya masing-masing sangat merindukan perdamaian. Manusia
menginginkan perdamaian menguasai hatinya dan menguasai seluruh kegiatan
aktivitasnya sehari-hari. Singkatnya, manusia membutuhkan perdamaian dalam
segala sesuatu yang dilakukannya sebagai manusia
2.
Latar Belakang Munculnya Ensiklik Pacem In Terris
a.
Konteks Zaman
Ensiklik Pacem in Terris muncul
dalam suasana mencekam yang sedang melanda dunia. Abad ke-20 merupakan abad
penuh pergolakan. Suatu abad yang dikuasai oleh egoisme manusia. Dalam abad
itu, terjadi banyak pemerkosaan terhadap hak asasi manusia. Begitu banyak
terjadi pertumpahan darah dan korban berjatuhan tak terhitung jumlahnya.
Di awali oleh revolusi ekonomi yang
melanda beberapa negara. Ajaran Karl Mark menjadi dewa yang menguasai sebagian
dunia. Di sana munculnya materialisme yang menguasai manusia. Manusia begitu
serakah. Ia haus akan harta dunia. Pandangan ini dimaksudkan juga untuk menyingkirkan
hal-hal yang menghalangi kemajuan dalam bidang ekonomi. Yang dimaksud adalah
nilai-nilai iman.
Iman telah meninabobokan manusia
sehingga manusia enggan berusaha, demikian pendapat mereka. Karl Mark sendiri
tidak menolak Tuhan. Ia hanya menolak ‘cara’ atau praktek beriman yang
membelenggu kemajuan ekonomi, tetapi para pengikutnya menafsirkan ajarannya
secara lain. Akhirnya, ajaran itu berubah menjadi permusuhan besar-besaran
terhadap Gereja, kaum beriman, para pastor, suster, dan lain-lain.
Akibat dari penyingkiran nilai iman
dan keserakahan manusialah, maka yang terjadi berikutnya adalah persaingan.
Persaingan bukan saja dalam bidang ekonomi, namun merambat ke bidang lain
seperti politik dan persenjataan. Dari hari ke hari persaingan itu semakin memanas.
Akibat persaingan ini adalah munculnya dua perang besar. Perang dunia pertama
dan kedua yang memakan korban begitu banyak, baik dari segi materi maupun nyawa
manusia. Pada saat yang bersamaan muncul beberapa tokoh penghancur yang menjadi
penyebab munculnya peperangan besar itu. Mereka menjadi inspirator munculnya
ketegangan yang menguasai dunia, seperti: Lenin, Stalin, Adolf Hitler, dan
lain-lain.
Ketegangan tidak berhenti, tetapi
berlanjut terus. Perang dingin pun menyusul kemudian. Perang ini telah menjadi
sesuatu yang paling menakutkan dalam sejarah umat manusia. Negara-negara maju
yang berkepentingan mulai meluaskan pengaruhnya secara diam-diam. Hal ini
ditandai dengan terpecahnya menjadi negara-negara Blok Timur dan Blok Barat.
Namun, syukur kepada Allah karena
perang dingin tidak meletus. Pecahnya negara Uni Soviet, menjadi tanda
berakhirnya perang dingin. Persaingan antara Blok Timur dan Blok Barat pun
dengan sendirinya mereda. Walaupun setelah itu, muncul suatu fase baru dalam
peradaban yang melanda manusia modern sampai saat ini.
Seolah-olah kelanjutan dari keadaan
sebelumnya, ketegangan masih terus berlangsung. Perang besar telah terjadi
yaitu Perang Teluk antara Irak dan Kuwait. Hingga saat ini, ancaman perang ini
terus berlanjut dan telah berubah menjadi suatu permusuhan dan saling membenci
antara Irak dan Amerika dengan sekutu-sekutunya. Selain itu, negara-negara -
tidak terkecuali miskin atau kaya - berlomba-lomba mendemonstrasikan kekuatan
senjatanya. Bahaya produksi senjata nuklir menjadi isu dan ancaman besar yang
melanda dunia.
b.
Ensiklik Pacem In Terris
Dalam
konteks zaman inilah ensiklik Pacem In Terris diterbitkan. Pacem in Terris, atau dalam bahasa Indonesia Tentang
Menegakkan Perdamaian yang Universal berdasarkan Kebenaran, Keadilan,
Kemurahan, dan Kebebasan adalah sebuah ensiklik kepausan yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes XXIII pada 11 April 1963. Ensiklik ini hingga kini tetap merupakan ensiklik yang
paling terkenal dari abad ke-20 dan menetapkan prinsip-prinsip yang kelak muncul dalam
sejumlah dokumen dari Konsili Vatikan II dan paus-paus yang kemudian.
Ini adalah ensiklik terakhir yang dirancang oleh Yohanes XXIII.
Kalimat pembukaan "Pacem in
Terris" (Damai di Bumi) menegaskan pemahaman Gereja Katolik tentang
bagaimana perdamaian dapat tercipta di dunia:
"PACEM
IN TERRIS, quam homines universi cupidissime quovis tempore appetiverunt, condi
confirmarique non posse constat, nisi ordine, quem Deus constituit, sancte
servato."
"Damai
di bumi, yang paling dirindukan oleh semua orang dari segala zaman, dapat
ditegakkan dengan kuat, hanya apabila perintah yang ditetapkan oleh Allah dapat
ditaati dengan setia."
Ketika merancangnya, Paus Yohanes XXIII sedang menderita kanker. Ia wafat dua bulan kemudian
sesudah ensiklik ini selesai.
Bagi
Paus Yohanes XXIII, kesejahteraan hidup manusia terwujud bila damai dialami
oleh segenap manusia dan terjaminnya hak dan kewajiban manusia secara utuh.
Sebab itu, perdamaian menjadi fokus dan nilai utama yang diperjuangkan oleh
Yohanes XXIII, dengan penekanan dan pengakuan akan hak dan kewajiban setiap
manusia sebagaimana yang diwahyukan Allah melalui ajaran-ajaran-Nya dalam Kitab
Suci.
a.
Landasan Biblis Bagi Perdamaian
Apa janji Allah
tentang perdamaian? Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun
dalam Perjanjian Baru, memberikan kesaksian kepada kita tentang apa yang dikatakan
Allah mengenai suatu dunia yang damai. Salah satu gambaran yang indah terdapat
dalam kitab Nabi Yesaya, yaitu gambaran mengenai binatang buas, ternak, dan
manusia. Binatang buas merupakan musuh manusia dan ternak. Akan tetapi akan
datang waktunya, di mana permusuhan itu tidak ada lagi. Itulah zaman
pemerintahan Raja Mesias (Yes 11:1-5). Pada waktu itu:
“Serigala akan tinggal bersama domba, dan macan tutul akan
berbaring di samping kambing. Anak lembu dan singa akan makan rumput
bersama-sama dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan
berteman dan anak-anak mereka akan bersama-sama berbaring. Singa akan makan
jerami seperti lembu. Anak-anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular
tedung. Dan ke sarang ular beludak anak yang cerai susu akan mengulurkan
tangannya” (Yes 11:6-8).
Bahkan
sebelum menjadi karunia Allah kepada manusia dan sebuah proyek manusia dalam
kesepadanan dengan rencana ilahi, perdamaian pada tempat pertama merupakan
sebuah gelar dasar Allah. Tuhan itu
kedamaian (Hak. 6:24). Ciptaan yang merupakan pantulan kemuliaan ilahi,
menghasratkan perdamaian. Allah menciptakan segala sesuatu yang ada, dan
segenap ciptaan membentuk suatu keseluruhan yang selaras yang dalam setiap
bagiannya adalah baik adanya. (bdk. Kej. 1:4,10,18,21,25,31). Seturut wahyu
alkitabiah, perdamaian lebih daripada sekedar tidak adanya perang; perdamaian
melambangkan kepenuhan hidup (bdk. Mal.2:5). Perdamaian adalah tujuan hidup di
tengah masyarakat, sebagaimana yang diterangkan dengan sangat gamblang dalam
visi perdamaian mesianik: taktala semua orang akan pergi ke rumah Tuhan, dan ia
akan mengajarkan mereka jalan-jalan-Nya dan mereka akan melangkah di jalan
damai (bdk. Yes. 2:2-5). Ketika menyendengkan pendengarannya pada apa yang
hendak Allah katakana kepada umat-Nya tentang perdamaian, sang pemazmur
mendengarkan kata-kata ini: “ kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan
damai sejahtera akan bercium-ciuman” (Mzm. 85:11). [2]
Gambaran indah ini mau
mengatakan bahwa perdamaian yang dikerjakan Raja Damai itu berarti pula bebas
dari ketakutan, kekerasan, kecemasan, kekuatiran, dan saling membunuh. Kapan
hal ini akan terjadi? Hal ini akan terjadi jika manusia membuka diri terhadap
rahmat dan tawaran Allah. Tentu saja tidak mengabaikan usaha manusia. Allah
senantiasa mengajak dan mengundang manusia untuk menciptakan dan membangun
suatu dunia damai.
Janji
perdamaian yang membentang sepanjang Perjanjian Lama memperoleh kepenuhannya
dalam pribadi Yesus itu sendiri. Yesus adalah damai sejahtera kita (Ef. 2:14).
Perdamaian Kristus pada tempat pertama merupakan rekonsiliasi dengan Sang Bapa,
yang dihasilkan oleh pelayan Yesus yang dipercayakan kepada para murid-Nya dan
yang bermula dengan pemakluman perdamaian: “kalau kamu memasuki suatu rumah,
katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini” ( Luk. 10:5; Rm. 1:7).
Yesus Sang Raja Damai
mengatakan: “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku
harapkan api itu telah menyala” (Luk 12:49). Api itu adalah api damai.
Api yang membakar segala permusuhan, kebencian, kemarahan, dan nafsu balas
dendam yang menguasai hati manusia. Api itu akan mengubah segala permusuhan
menjadi persahabatan, kebencian menjadi belaskasihan, kemarahan menjadi
kelemah-lembutan, nafsu balas dendam menjadi pengampunan. Gagasan
injil tentang perdamaian dikumandangkan pula oleh Yesus menjelang kematian-Nya:
“Damai sejahtera kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku kuberikan kepadamu,
dan apa yang kuberikan tidak seperti yang diberikan dunia kepadamu” (Yoh.
14:27). Inilah pernyataan spiritual Yesus. Selanjutnya, ketika Yesus bangkit
dari alam maut dab berjumpa dengan para murid-Nya, mereka menerima dari Dia
salam dan karunia perdamaian: “Damai sejahtera bagi kamu” (Luk. 24:36; Yoh.
20:19, 21,26)[3]
Inilah dunia damai
yang dirindukan Allah bagi manusia. Allah menginginkan pemerintahan-Nya
menguasai manusia. Allah menginginkan hukum cintakasih – yang menciptakan
perdamaian – menawan hati manusia.
Bertolak dari landasan Alkitabiah
ini maka PT mengemukakan ajarannya mengenai perdamaian. Apa yang ditekankan
oleh PT mengenai perdamaian?
b.
Perdamaian Dunia
Perdamaian di dunia ternyata begitu
didambakan oleh setiap umat manusia di sepanjang zaman. Dambaan itu berarti
perdamaian di dunia sekarang sedang mengalami suatu keadaan krisis. Lebih
ironis lagi perdamaian tersebut telah dirusak oleh manusia yang tidak menaati
tata ciptaan Allah. tentang hal ini Paus Yohanes XXIII mengatakan:
“Perdamaian di dunia begitu didambakan dan
diusahakan oleh setiap manusia namun perdamaian itu tidak pernah akan tercapai,
tak pernah akan terjamin kalau tata dunia yang ditetapkan oleh Allah tidak
dipatuhi dengan seksama. Tata tertib yang mengagungkan itu meliputi dunia
ciptaan yang hidup dan daya kekuatan alam. Suatu ciri kekagungan manusia ialah
kemampuannya menghargai tata tertib itu.”(PT. 1-2,167)
Menurut
Yohanes XXIII perdamaian berhubungan dengan ketaatan akan hukum yang ditetapkan
Allah, sebab secara bijaksana Allah telah menciptakan segala sesuatu, entah itu
mahkluk hidup atau benda mati. Dalam semua ciptaan tersebut telah terukir hukum
ilahi. Di antara semua itu manusia
adalah mahkluk yang tertinggi karena ia dikaruniai martabat yang luhur.
Oleh karena itu, manusia tidak boleh dimanipulasi atau diobjektivasi layaknya
sebuah materi. Di sini Yohanes XXIII menunjukkan bahwa syarat pertama dan mutlak
untuk mewujudkan dan mempertahankan perdamaian itu adalah mentaati hukum yang
telah ditetapkan oleh Allah.
Dalam
orientasi ketaatan yang mengagumkan itu setiap manusia berhadapan dengan dua
kekuatan besar sekaligus, yakni sesama
manusia dan ciptaan lainnya. Semua ini diciptakan oleh Allah; di satu sisi
menunjukkan kesatuan universal tata ciptaan namun di sisi lain menunjuk pada
perbedaan mendasar yang dimiliki oleh keduanya.
Tentang
hal ini Yohanes XXIII mengajak umat manusia untuk melihat dan memahami perbedaan
dan hubungan keduanya secara jelas. Disinilah letak keluhuran manusia sebagai
mahkluk yang dianugerahi akal budi untuk mengerti dan memahami tata tertib
ciptaan Allah dan sekaligus mampu untuk mengontrol dan mengendalikan daya
kekuatan yang ada demi kebahagiaan dan keselamatan manusia. Jika demikian
dimanakah letak permasalahan yang mengancam bahkan merusak perdamaian itu?
Yohanes
XXIII secara jelas menunjuk bahwa yang menjadi titik pangkal merosotnya
perdamaian adalah karena adanya pandangan–pandangan yang sesat tentang
eksistensi manusia. Secara khusus pandangan yang mengatakan bahwa seolah-olah
hukum yang mengatur hubungan antar-individu, warga Negara dengan pemerintah dan
Negara dengan Negara lainnya sama saja dengan hukum yang menguasai daya atau
unsur alam semesta yang buta. Padahal hukum yang mengatur manusia berlainan
sama sekali. ( PT. 4,6, 159). Allah telah menciptakan manusia dan alam semesta
dengan hukumnya sendiri-sendiri. Dengan perbedaan hakiki ini maka antara
manusia dan mahkluk ciptaan lainnya tidak boleh disamaratakan. Tindakan untuk
menyamaratakan keduanya tidak bisa dibenarkan dan disitulah letak kesalahan dan
kejahatan. Selanjutnya Yohanes XXIII melihat bahwa kesesatan pandangan itu
sering muncul dari analisa filsafat yang keliru tentang hakekat dan tujuan
hidup manusia. (PT. 159). Kesesatan ini melahirkan praktek-praktek kejahatan.
Kesesatan dan kejahatan manusia tersebut membuat hidupnya tidak lagi seperti
yang dikehendaki dan ditetapkan oleh Allah.
Konsekuensinya,
beliau menegaskan bahwa perdamaian di dunia hanya akan terwujud apabila setiap
manusia taat pada hukum Allah yang telah terpatri di dalam kodratnya yang luhur
dan mulia. (PT. 5). Hukum yang telah terpatri dalam kodrat manusia itu dengan
sendirinya akan membantu manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya di
masyarakat, membina hubungan timbal balik antar warga Negara dan pemerintah
bahkan akan mendukung kerjasama internasional. (PT. 153)
Lebih
lanjut Yohanes XXIII melihat bahwa penyebab merosotnya perdamaian di muka bumi
ini adalah karena dangkalnya iman dan moralitas yang dimiliki oleh setiap
mereka yang menyebut dirinya beragama
(Kristen). ( PT. 151-152). Fakta dangkalnya iman dan adanya kesenjangan antara
iman dan praktek hidup disebabkan oleh pendidikan agama dan tata susila yang
tidak memenuhi syarat. (PT 153)
Merosotnya
perdamaian di muka bumi ini juga berdampak pada pengakuan atas hak dan
kewajiban setiap manusia dalam hidupnya. Hak-hak manusia dalam hal ini sering
diabaikan. Oleh karenanya, Paus Yohanes XXIII mengangkat unsur penting lainnya
yakni pengakuan atas Hak dan kewajiban bagi setiap manusia.
c.
Pengakuan Atas Hak dan kewajiban Setiap Manusia
Dalam PT,
Yohanes XXIII menguraikan visinya tentang manusia. Menurutnya, manusia adalah
seorang pribadi, pemegang hak-hak dan kewajiban-kewajiban.[4]
Visi tentang manusia ini secara langsung mengungkapkan sebuah pemahaman yang
hakiki tentang manusia. Setiap manusia adalah pribadi yang luhur, yang memiliki
hak dan kewajiban asali. Semuanya itu melekat pada diri manusia berdasarkan
kodratnya.
Mengingat
hak-hak dan kewajiban manusia adalah bagian penting bagi terciptanya perdamaian
maka pada bagian ini akan diuraikan tentang pentingnya pengakuan hak-hak dan
kewajiban setiap manusia dalam hidupnya.
1) Hak-hak
Bagi Yohanes XXIII, pengakuan dan
penghargaan akan martabat manusia tidak hanya ditinjau dari perspektif insani
melainkan pertama-tama harus ditinjau dari perspektif ilahi. Dari perspektif
ini bagi paus manusia diciptakan oleh Allah dan telah ditebus dengan harga yang
sangat mahal yakni dengan darah Yesus Kristus sendiri. Rahmat ini menjadikan
kita putra-putri dan sahabat Allah, serta pewaris kemuliaan kekal. (PT. 10)
Oleh karena martabat manusia ini
adalah luhur adanya maka bagi paus martabat manusia tidak dapat diganggu-gugat
oleh siapapun. Inilah hukum dasar yang pertama-tama harus diperhatikan dalam
hubungan antar manusia. (PT. 9)
Yohanes XXIII juga menyebutkan
beberapa jenis HAM yang harus diperhatikan dan dipenuhi dalam hidup bersama.
Hak-hak itu antara lain: hak untuk hidup, hak untuk dihargai, hak memiliki
hasil kebudayaan, hak beribadat kepada Allah, hak memilih sendiri bentuk hidup,
hak ekonomi, hak berkumpul dan berserikat, hak beremigrasi, hak politik dan hak
atas perlindungan hukum. (PT.11-27)[5]
2) Kewajiban-kewajiban
Hak-hak tentu tidak terlepas dari
kewajiban-kewajiban. Kedua-duanya berjalan beriringan dan berlaku bagi setiap
peribadi manusia tanpa terkecuali. Hak dan kewajiban itu bertumpuh pada hukum
kodrati dan karena itu tak terhapuskan atau tergantikan. Paus Yohanes XXIII
mengatakan: “sekali lagi diakui bahwa
dalam masyarakat manusia hak kodrati seseorang menimbulkan pada sesama
kewajiban yang sepadan, maksudnya: kewajiban mengakui dan menghormati hak itu”
(PT. 30)
Intinya,
pengakuan akan hak berbarengan dengan tanggungjawab untuk menunaikan
kewajiban-kewajiban. Semacam ada timbal-balik satu sama lain.
d.
Dasar-dasar
Nilai Pijakan Perdamaian
Dalam Ensiklik itu,
inspirator Konsili Vatikan II itu menyodorkan empat hakiki yang menjadi syarat
perdamaian yang juga terdapat dalam jiwa manusia: kebenaran, keadilan,
cinta kasih, dan kemerdekaan.
·
Kebenaran[6] akan membangun
perdamaian apabila setiap orang secara tulus mengakui bukan hanya haknya
sendiri tetapi juga kewajibannya terhadap sesama manusia. Tugas manusia bukan
saja mencari kebenaran tetapi juga menanamkan kebenaran itu kepada orang lain.
Kebenaran yang dimaksud bukan sekedar slogan atau teori semata tentang
kebenaran, melainkan kebenaran yang dihayati sendiri, yang dijiwai dan yang
diaktualkan dalam kesehariannya. Kebenaran itu tidak lain adalah Allah sendiri.
Menghayati kebenaran berarti menghayati hidup Allah sendiri.
·
Keadilan[7] akan membangun
perdamaian, jika di dalam pelaksanaannya setiap orang menghormati hak orang
lain dan benar-benar melaksanakan tugas yang ditentukan bagi mereka. Dengan
menghormati hak orang lain berarti, manusia mengakui keberadaan sesamanya.
Keberadaannya sebagai makhluk yang memiliki hak dan martabat sebagai ciptaan
Tuhan.
·
Cinta kasih[8] akan membangun
perdamaian, apabila orang-orang merasakan bahwa kebutuhan orang lain sebagai
kebutuhannya sendiri dan membagikan hartanya kepada sesama, terutama
nilai-nilai akal budi dan semangat yang mereka miliki. Cintakasih dalam ajaran
kristiani menduduki tempat utama. Cintakasih menyangkut segala-galanya. Dengan
membagikan segala apa yang ada pada kita, berarti kita membangun suatu dunia
yang penuh damai. Membagi cintakasih berarti membagi perdamaian.
·
Kemerdekaan akan membangun perdamaian dan membuatnya berkembang,
jikalau di dalam memilih sarana untuk tujuan itu, orang-orang bertindak sesuai
dengan akal dan bertanggungjawab akan tindakannya sendiri. Kemerdekaan tidak
berarti manusia bebas melakukan sesuatu tanpa dibatasi. Kemerdekaan yang sejati
justeru merupakan suatu tindakan yang didasarkan pada kemampuan manusia untuk
bertanggungjawab atas segala tindakannya. Yang dimaksudkan disini adalah
tindakan bukan hanya sekedar tindakan saja, melainkan tindakan benar yang
menghasilkan suatu perdamaian.
4. Refleksi
Dan Penutup
Apakah damai masih ada
dalam diri kita? Apakah kita mampu menghadirkan kerajaan damai itu kepada orang
lain? Perdamaian harus mulai dari diri sendiri, sesama, dan berakhir pada
Tuhan. Keluarga merupakan lahan pertama tempat kita dapat menanamkan benih
perdamaian, kepada suami, isteri, anak, dan lain-lain. Setelah itu barulah kita
bergerak pada tingkat yang lebih luas; tetangga dan lingkungan di mana saja
kita berada dan akhirnya dunia seluruhnya.
Di akhir tulisan ini,
marilah kita semua berdoa kepada Tuhan agar Dia menghujankan rahmat perdamaian
bagi dunia ini, supaya segala permusuhan dilenyapkan, segala peperangan dan
pertikaian segera berakhir, sehingga kita dapat menikmati suatu dunia di mana
Mesias memerintah untuk selama-lamanya. Dan bersama Santo Fransiskus Asisi,
kita berseru: “Tuhan jadikan kami pembawa damai-Mu ke seluruh muka bumi ini.”
“
Dengan hasrat hati yang terakhir ini, saudara-saudara yang terhormat, semoga
perdamaian-Nya meluas sampai ke seluruh kawanan domba yang dipercayakan kepada
asuhan kalian…..Bagi sekalian orang yang berkemauan baik, kepada siapa surat
ini dialamatkan pula, kami mohonkan keselamatan dan kesejahteraan Allah Yang
Mahatinggi.” (PT. 264)
Daftar Pustaka
Beding, Marcel. Adjaran Sosial Geredja, Ende:
Arnoldus, 1967.
Hardawiryana,
R. (Alih Bahasa). Kumpulan Dokumen AJARAN
SOSIAL GEREJA TAHUN 1891-1991 dari RERUM NOVARUM sampai dengan CENTESIMUS ANNUS,
Seri Dokumen Gerejawi Edisi Khusus. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 1999.
Keiser. B. Solidaritas 100 tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta:
Kanisius, 1992
Komisi Kepausan
untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium
Ajaran Sosial Gereja, Maumere: Ledalero, 2009.
Konferensi
Waligereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius;
Jakarta: Obor, 1996
Komisi Kateketik
KWI. Perutusan Murid-murid Yesus:
Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/SMK, buku guru II. Yogyakarta:
Kanisius, 2004.
Komisi Kateketik
KWI. Perutusan Murid-murid Yesus:
Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/SMK, buku guru III. Yogyakarta:
Kanisius, 2004.
Schultheis, J. Michael, dkk. Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 1988.
[1] Penjelasan dari
bagian ini disarikan dari, R. Hardawiryana, Kumpulan
Ajaran Sosial Gereja daru Rerum Novarum sampai Centecimus Annus, (Jakarta: Dok dan pen KWI, 1999).
[2] Komisi Kepausan
untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium
Ajaran Sosial Gereja, (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 333-334.
[3] Bdk. Ibid. hlm 335.
[4] Marcel Beding, Adjaran Sosial Geredja, (Ende:
Arnoldus, 1967), hlm. 327
[5] Ajaran Sosial
Gereja menegaskan: “ karena semua manusia mempunyai jiwa berbudi dan
didiciptakan menurut citra Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama,
serta karena penebusan Kristus, mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama,
maka kesamaan asasi antar manusia harus diakui. “ (GS 29). Dari ajaran ini
tampak pandangan gereja bahwa hak asasi adalah hak yang melekat pada diri
manusia sebagai insan Allah. Bdk.
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman
Katolik, (Yogyakarta: Kanisius; Jakarta: Obor, 1996), hlm. 21; Lih, Michael J. Schultheis, dkk, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, (Yogyakarta:Kanisius,1988),
hlm. 58.
[6] Kebenaran
berarti keadaan yang cocok atau sesuai dengan hal yang sesungguhnya. Dalam
Kitab Suci Kebenaran berarti mengambil bagian dalam kehidupan Allah. Allah
adalah sumber kebenaran (Bdk. Firman kedelapan). Komisi Kateketik KWI, Perutusan Murid-murid Yesus: Pendidikan
Agama Katolik untuk SMA/SMK, Buku III (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm.32-33.
[7] Keadilan
berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, misalnya hak
untuk hidup yang wajar, hak untuk memilih agama/ kepercayaan, hak untuk
mendapatkan pendidikan dsb. Dalam pembedaannya, keadilan dibagi menjadi. a. Keadilan komutatif:menuntut kesamaan
dalam pertukaran, misalnya mengembalikan pinjaman atau jual beli yang berlaku
pantas, tidak ada yang rugi. b.Keadilan
distributif: menuntut kesamaan yang menguntungkan dan dalam menuntut
pengurbanan. Misalnya, kekayaan alam dinikmati secara adil dan pengorbanan
untuk pembangunan dipikul bersama-sama dengan adil. c. Keadilan
legal: menuntut kesamaan hak dan kewajiban terhadap Negara sesuai dengan
undang-undang yang berlaku. Bdk. Komisi Kateketik KWI, Perutusan Murid-murid Yesus: Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/SMK,
Buku III, (Yogyakarta: Kanisius,
2004), hlm.22-23.
[8] Dalam ajaran
Kristen, cinta kasih memiliki warna yang khas. Ketika ditanya oleh seorang ahli
taurat manakah hukum yang paling utama, Yesus menjawab:”kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap
akal budimu; itulah hukum yang pertama dan terutama”. Yesus langsung
menyambung, “dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:37-39). St. Yohanes
menambahkan: “Barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak
mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya; jikalau seseorang berkata: Aku
mengasihi Allah, dan ia membenci
saudaranya, maka ia adalah pendusta” (1 Yoh. 4:20). Kasih kepada sesame
dengan demikian merupakan pengejewantahan kasih Allah. Bdk. Konferensi
Waligereja Indonesia, Iman Katolik,(Yogyakarta:
Kanisius; Jakarta: Obor, 1996), hlm. 190-191.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar