Sabtu, 21 Januari 2012

ULASAN SINGKAT ENSIKLIK PACEM IN TERRIS

Oleh: Nicolas Renleuw
Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

1.     Pengantar
Damai di bumi sangat dirindukan oleh semua orang di sepanjang zaman.” Demikian kalimat awal Ensiklik Pacem in Terris. Ensiklik Pacem in Terris (damai di bumi) merupakan salah satu ensiklik yang dikeluarkan oleh Beato Yohanes XXIII. Ensiklik ini dikeluarkan pada tanggal 11 April 1963.
Walaupun telah lama diedarkan dan telah banyak terjadi perubahan dalam dunia, tetapi kelihatan Ensiklik ini masih relevan untuk situasi dunia kita. Suatu dunia dan abad yang baru. Ensiklik ini masih menggema dan menyuarakan perdamaian bagi seluruh umat manusia dewasa ini.
Apa yang dikatakan dalam Ensiklik tersebut merupakan suara Gereja yang menolak segala bentuk kekerasan, peperangan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Yang ditekankan dalam Ensiklik yaitu, penolakan terhadap hal-hal yang berlawanan dengan perdamaian.
Mengapa? Karena dari hari ke hari perdamaian semakin menjauh dari dunia ini. Dalam suasana demikian, manusia dihantui oleh rasa takut, cemas, dan kuatir yang tak kunjung berakhir. Padahal, setiap manusia dalam dirinya masing-masing sangat merindukan perdamaian. Manusia menginginkan perdamaian menguasai hatinya dan menguasai seluruh kegiatan aktivitasnya sehari-hari. Singkatnya, manusia membutuhkan perdamaian dalam segala sesuatu yang dilakukannya sebagai manusia

2.     Latar Belakang Munculnya Ensiklik Pacem In Terris
a.      Konteks Zaman
Ensiklik Pacem in Terris muncul dalam suasana mencekam yang sedang melanda dunia. Abad ke-20 merupakan abad penuh pergolakan. Suatu abad yang dikuasai oleh egoisme manusia. Dalam abad itu, terjadi banyak pemerkosaan terhadap hak asasi manusia. Begitu banyak terjadi pertumpahan darah dan korban berjatuhan tak terhitung jumlahnya.
Di awali oleh revolusi ekonomi yang melanda beberapa negara. Ajaran Karl Mark menjadi dewa yang menguasai sebagian dunia. Di sana munculnya materialisme yang menguasai manusia. Manusia begitu serakah. Ia haus akan harta dunia. Pandangan ini dimaksudkan juga untuk menyingkirkan hal-hal yang menghalangi kemajuan dalam bidang ekonomi. Yang dimaksud adalah nilai-nilai iman.
Iman telah meninabobokan manusia sehingga manusia enggan berusaha, demikian pendapat mereka. Karl Mark sendiri tidak menolak Tuhan. Ia hanya menolak ‘cara’ atau praktek beriman yang membelenggu kemajuan ekonomi, tetapi para pengikutnya menafsirkan ajarannya secara lain. Akhirnya, ajaran itu berubah menjadi permusuhan besar-besaran terhadap Gereja, kaum beriman, para pastor, suster, dan lain-lain.
Akibat dari penyingkiran nilai iman dan keserakahan manusialah, maka yang terjadi berikutnya adalah persaingan. Persaingan bukan saja dalam bidang ekonomi, namun merambat ke bidang lain seperti politik dan persenjataan. Dari hari ke hari persaingan itu semakin memanas. Akibat persaingan ini adalah munculnya dua perang besar. Perang dunia pertama dan kedua yang memakan korban begitu banyak, baik dari segi materi maupun nyawa manusia. Pada saat yang bersamaan muncul beberapa tokoh penghancur yang menjadi penyebab munculnya peperangan besar itu. Mereka menjadi inspirator munculnya ketegangan yang menguasai dunia, seperti: Lenin, Stalin, Adolf Hitler, dan lain-lain.
Ketegangan tidak berhenti, tetapi berlanjut terus. Perang dingin pun menyusul kemudian. Perang ini telah menjadi sesuatu yang paling menakutkan dalam sejarah umat manusia. Negara-negara maju yang berkepentingan mulai meluaskan pengaruhnya secara diam-diam. Hal ini ditandai dengan terpecahnya menjadi negara-negara Blok Timur dan Blok Barat.
Namun, syukur kepada Allah karena perang dingin tidak meletus. Pecahnya negara Uni Soviet, menjadi tanda berakhirnya perang dingin. Persaingan antara Blok Timur dan Blok Barat pun dengan sendirinya mereda. Walaupun setelah itu, muncul suatu fase baru dalam peradaban yang melanda manusia modern sampai saat ini.
Seolah-olah kelanjutan dari keadaan sebelumnya, ketegangan masih terus berlangsung. Perang besar telah terjadi yaitu Perang Teluk antara Irak dan Kuwait. Hingga saat ini, ancaman perang ini terus berlanjut dan telah berubah menjadi suatu permusuhan dan saling membenci antara Irak dan Amerika dengan sekutu-sekutunya. Selain itu, negara-negara - tidak terkecuali miskin atau kaya - berlomba-lomba mendemonstrasikan kekuatan senjatanya. Bahaya produksi senjata nuklir menjadi isu dan ancaman besar yang melanda dunia.

b.      Ensiklik Pacem In Terris
Dalam konteks zaman inilah ensiklik Pacem In Terris diterbitkan. Pacem in Terris, atau dalam bahasa Indonesia Tentang Menegakkan Perdamaian yang Universal berdasarkan Kebenaran, Keadilan, Kemurahan, dan Kebebasan adalah sebuah ensiklik kepausan yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes XXIII pada 11 April 1963. Ensiklik ini hingga kini tetap merupakan ensiklik yang paling terkenal dari abad ke-20 dan menetapkan prinsip-prinsip yang kelak muncul dalam sejumlah dokumen dari Konsili Vatikan II dan paus-paus yang kemudian. Ini adalah ensiklik terakhir yang dirancang oleh Yohanes XXIII.
Kalimat pembukaan "Pacem in Terris" (Damai di Bumi) menegaskan pemahaman Gereja Katolik tentang bagaimana perdamaian dapat tercipta di dunia:
"PACEM IN TERRIS, quam homines universi cupidissime quovis tempore appetiverunt, condi confirmarique non posse constat, nisi ordine, quem Deus constituit, sancte servato."
"Damai di bumi, yang paling dirindukan oleh semua orang dari segala zaman, dapat ditegakkan dengan kuat, hanya apabila perintah yang ditetapkan oleh Allah dapat ditaati dengan setia."
Ketika merancangnya, Paus Yohanes XXIII sedang menderita kanker. Ia wafat dua bulan kemudian sesudah ensiklik ini selesai.

3.     Pokok-Pokok Pembahasan Pacem In Terris[1]
Bagi Paus Yohanes XXIII, kesejahteraan hidup manusia terwujud bila damai dialami oleh segenap manusia dan terjaminnya hak dan kewajiban manusia secara utuh. Sebab itu, perdamaian menjadi fokus dan nilai utama yang diperjuangkan oleh Yohanes XXIII, dengan penekanan dan pengakuan akan hak dan kewajiban setiap manusia sebagaimana yang diwahyukan Allah melalui ajaran-ajaran-Nya dalam Kitab Suci.

a.      Landasan Biblis Bagi Perdamaian
Apa janji Allah tentang perdamaian? Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru, memberikan kesaksian kepada kita tentang apa yang dikatakan Allah mengenai suatu dunia yang damai. Salah satu gambaran yang indah terdapat dalam kitab Nabi Yesaya, yaitu gambaran mengenai binatang buas, ternak, dan manusia. Binatang buas merupakan musuh manusia dan ternak. Akan tetapi akan datang waktunya, di mana permusuhan itu tidak ada lagi. Itulah zaman pemerintahan Raja Mesias (Yes 11:1-5). Pada waktu itu:
Serigala akan tinggal bersama domba, dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan singa akan makan rumput bersama-sama dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan berteman dan anak-anak mereka akan bersama-sama berbaring. Singa akan makan jerami seperti lembu. Anak-anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung. Dan ke sarang ular beludak anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya” (Yes 11:6-8).
Bahkan sebelum menjadi karunia Allah kepada manusia dan sebuah proyek manusia dalam kesepadanan dengan rencana ilahi, perdamaian pada tempat pertama merupakan sebuah gelar dasar Allah. Tuhan itu kedamaian (Hak. 6:24). Ciptaan yang merupakan pantulan kemuliaan ilahi, menghasratkan perdamaian. Allah menciptakan segala sesuatu yang ada, dan segenap ciptaan membentuk suatu keseluruhan yang selaras yang dalam setiap bagiannya adalah baik adanya. (bdk. Kej. 1:4,10,18,21,25,31). Seturut wahyu alkitabiah, perdamaian lebih daripada sekedar tidak adanya perang; perdamaian melambangkan kepenuhan hidup (bdk. Mal.2:5). Perdamaian adalah tujuan hidup di tengah masyarakat, sebagaimana yang diterangkan dengan sangat gamblang dalam visi perdamaian mesianik: taktala semua orang akan pergi ke rumah Tuhan, dan ia akan mengajarkan mereka jalan-jalan-Nya dan mereka akan melangkah di jalan damai (bdk. Yes. 2:2-5). Ketika menyendengkan pendengarannya pada apa yang hendak Allah katakana kepada umat-Nya tentang perdamaian, sang pemazmur mendengarkan kata-kata ini: “ kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman” (Mzm. 85:11). [2]
Gambaran indah ini mau mengatakan bahwa perdamaian yang dikerjakan Raja Damai itu berarti pula bebas dari ketakutan, kekerasan, kecemasan, kekuatiran, dan saling membunuh. Kapan hal ini akan terjadi? Hal ini akan terjadi jika manusia membuka diri terhadap rahmat dan tawaran Allah. Tentu saja tidak mengabaikan usaha manusia. Allah senantiasa mengajak dan mengundang manusia untuk menciptakan dan membangun suatu dunia damai.
Janji perdamaian yang membentang sepanjang Perjanjian Lama memperoleh kepenuhannya dalam pribadi Yesus itu sendiri. Yesus adalah damai sejahtera kita (Ef. 2:14). Perdamaian Kristus pada tempat pertama merupakan rekonsiliasi dengan Sang Bapa, yang dihasilkan oleh pelayan Yesus yang dipercayakan kepada para murid-Nya dan yang bermula dengan pemakluman perdamaian: “kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini” ( Luk. 10:5; Rm. 1:7). Yesus Sang Raja Damai mengatakan: “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapa Aku harapkan api itu telah menyala” (Luk 12:49). Api itu adalah api damai. Api yang membakar segala permusuhan, kebencian, kemarahan, dan nafsu balas dendam yang menguasai hati manusia. Api itu akan mengubah segala permusuhan menjadi persahabatan, kebencian menjadi belaskasihan, kemarahan menjadi kelemah-lembutan, nafsu balas dendam menjadi pengampunan. Gagasan injil tentang perdamaian dikumandangkan pula oleh Yesus menjelang kematian-Nya: “Damai sejahtera kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku kuberikan kepadamu, dan apa yang kuberikan tidak seperti yang diberikan dunia kepadamu” (Yoh. 14:27). Inilah pernyataan spiritual Yesus. Selanjutnya, ketika Yesus bangkit dari alam maut dab berjumpa dengan para murid-Nya, mereka menerima dari Dia salam dan karunia perdamaian: “Damai sejahtera bagi kamu” (Luk. 24:36; Yoh. 20:19, 21,26)[3]
Inilah dunia damai yang dirindukan Allah bagi manusia. Allah menginginkan pemerintahan-Nya menguasai manusia. Allah menginginkan hukum cintakasih – yang menciptakan perdamaian – menawan hati manusia.
            Bertolak dari landasan Alkitabiah ini maka PT mengemukakan ajarannya mengenai perdamaian. Apa yang ditekankan oleh PT mengenai perdamaian?

b.      Perdamaian Dunia
            Perdamaian di dunia ternyata begitu didambakan oleh setiap umat manusia di sepanjang zaman. Dambaan itu berarti perdamaian di dunia sekarang sedang mengalami suatu keadaan krisis. Lebih ironis lagi perdamaian tersebut telah dirusak oleh manusia yang tidak menaati tata ciptaan Allah. tentang hal ini Paus Yohanes XXIII mengatakan:
  “Perdamaian di dunia begitu didambakan dan diusahakan oleh setiap manusia namun perdamaian itu tidak pernah akan tercapai, tak pernah akan terjamin kalau tata dunia yang ditetapkan oleh Allah tidak dipatuhi dengan seksama. Tata tertib yang mengagungkan itu meliputi dunia ciptaan yang hidup dan daya kekuatan alam. Suatu ciri kekagungan manusia ialah kemampuannya menghargai tata tertib itu.”(PT. 1-2,167)
Menurut Yohanes XXIII perdamaian berhubungan dengan ketaatan akan hukum yang ditetapkan Allah, sebab secara bijaksana Allah telah menciptakan segala sesuatu, entah itu mahkluk hidup atau benda mati. Dalam semua ciptaan tersebut telah terukir hukum ilahi. Di antara semua itu manusia  adalah mahkluk yang tertinggi karena ia dikaruniai martabat yang luhur. Oleh karena itu, manusia tidak boleh dimanipulasi atau diobjektivasi layaknya sebuah materi. Di sini Yohanes XXIII menunjukkan bahwa syarat pertama dan mutlak untuk mewujudkan dan mempertahankan perdamaian itu adalah mentaati hukum yang telah ditetapkan oleh Allah.
Dalam orientasi ketaatan yang mengagumkan itu setiap manusia berhadapan dengan dua kekuatan besar sekaligus, yakni sesama manusia dan ciptaan lainnya. Semua ini diciptakan oleh Allah; di satu sisi menunjukkan kesatuan universal tata ciptaan namun di sisi lain menunjuk pada perbedaan mendasar yang dimiliki oleh keduanya.
Tentang hal ini Yohanes XXIII mengajak umat manusia untuk melihat dan memahami perbedaan dan hubungan keduanya secara jelas. Disinilah letak keluhuran manusia sebagai mahkluk yang dianugerahi akal budi untuk mengerti dan memahami tata tertib ciptaan Allah dan sekaligus mampu untuk mengontrol dan mengendalikan daya kekuatan yang ada demi kebahagiaan dan keselamatan manusia. Jika demikian dimanakah letak permasalahan yang mengancam bahkan merusak perdamaian itu?
Yohanes XXIII secara jelas menunjuk bahwa yang menjadi titik pangkal merosotnya perdamaian adalah karena adanya pandangan–pandangan yang sesat tentang eksistensi manusia. Secara khusus pandangan yang mengatakan bahwa seolah-olah hukum yang mengatur hubungan antar-individu, warga Negara dengan pemerintah dan Negara dengan Negara lainnya sama saja dengan hukum yang menguasai daya atau unsur alam semesta yang buta. Padahal hukum yang mengatur manusia berlainan sama sekali. ( PT. 4,6, 159). Allah telah menciptakan manusia dan alam semesta dengan hukumnya sendiri-sendiri. Dengan perbedaan hakiki ini maka antara manusia dan mahkluk ciptaan lainnya tidak boleh disamaratakan. Tindakan untuk menyamaratakan keduanya tidak bisa dibenarkan dan disitulah letak kesalahan dan kejahatan. Selanjutnya Yohanes XXIII melihat bahwa kesesatan pandangan itu sering muncul dari analisa filsafat yang keliru tentang hakekat dan tujuan hidup manusia. (PT. 159). Kesesatan ini melahirkan praktek-praktek kejahatan. Kesesatan dan kejahatan manusia tersebut membuat hidupnya tidak lagi seperti yang dikehendaki dan ditetapkan oleh Allah.
Konsekuensinya, beliau menegaskan bahwa perdamaian di dunia hanya akan terwujud apabila setiap manusia taat pada hukum Allah yang telah terpatri di dalam kodratnya yang luhur dan mulia. (PT. 5). Hukum yang telah terpatri dalam kodrat manusia itu dengan sendirinya akan membantu manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya di masyarakat, membina hubungan timbal balik antar warga Negara dan pemerintah bahkan akan mendukung kerjasama internasional. (PT. 153)
Lebih lanjut Yohanes XXIII melihat bahwa penyebab merosotnya perdamaian di muka bumi ini adalah karena dangkalnya iman dan moralitas yang dimiliki oleh setiap mereka  yang menyebut dirinya beragama (Kristen). ( PT. 151-152). Fakta dangkalnya iman dan adanya kesenjangan antara iman dan praktek hidup disebabkan oleh pendidikan agama dan tata susila yang tidak memenuhi syarat. (PT 153)
Merosotnya perdamaian di muka bumi ini juga berdampak pada pengakuan atas hak dan kewajiban setiap manusia dalam hidupnya. Hak-hak manusia dalam hal ini sering diabaikan. Oleh karenanya, Paus Yohanes XXIII mengangkat unsur penting lainnya yakni pengakuan atas Hak dan kewajiban bagi setiap manusia.

c.      Pengakuan Atas Hak dan kewajiban Setiap Manusia
            Dalam PT, Yohanes XXIII menguraikan visinya tentang manusia. Menurutnya, manusia adalah seorang pribadi, pemegang hak-hak dan kewajiban-kewajiban.[4] Visi tentang manusia ini secara langsung mengungkapkan sebuah pemahaman yang hakiki tentang manusia. Setiap manusia adalah pribadi yang luhur, yang memiliki hak dan kewajiban asali. Semuanya itu melekat pada diri manusia berdasarkan kodratnya.
Mengingat hak-hak dan kewajiban manusia adalah bagian penting bagi terciptanya perdamaian maka pada bagian ini akan diuraikan tentang pentingnya pengakuan hak-hak dan kewajiban setiap manusia dalam hidupnya.

1)      Hak-hak
Bagi Yohanes XXIII, pengakuan dan penghargaan akan martabat manusia tidak hanya ditinjau dari perspektif insani melainkan pertama-tama harus ditinjau dari perspektif ilahi. Dari perspektif ini bagi paus manusia diciptakan oleh Allah dan telah ditebus dengan harga yang sangat mahal yakni dengan darah Yesus Kristus sendiri. Rahmat ini menjadikan kita putra-putri dan sahabat Allah, serta pewaris kemuliaan kekal. (PT. 10)
Oleh karena martabat manusia ini adalah luhur adanya maka bagi paus martabat manusia tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun. Inilah hukum dasar yang pertama-tama harus diperhatikan dalam hubungan antar manusia. (PT. 9)
Yohanes XXIII juga menyebutkan beberapa jenis HAM yang harus diperhatikan dan dipenuhi dalam hidup bersama. Hak-hak itu antara lain: hak untuk hidup, hak untuk dihargai, hak memiliki hasil kebudayaan, hak beribadat kepada Allah, hak memilih sendiri bentuk hidup, hak ekonomi, hak berkumpul dan berserikat, hak beremigrasi, hak politik dan hak atas perlindungan hukum. (PT.11-27)[5]

2)      Kewajiban-kewajiban
Hak-hak tentu tidak terlepas dari kewajiban-kewajiban. Kedua-duanya berjalan beriringan dan berlaku bagi setiap peribadi manusia tanpa terkecuali. Hak dan kewajiban itu bertumpuh pada hukum kodrati dan karena itu tak terhapuskan atau tergantikan. Paus Yohanes XXIII mengatakan: “sekali lagi diakui bahwa dalam masyarakat manusia hak kodrati seseorang menimbulkan pada sesama kewajiban yang sepadan, maksudnya: kewajiban mengakui dan menghormati hak itu” (PT. 30)
                  Intinya, pengakuan akan hak berbarengan dengan tanggungjawab untuk menunaikan kewajiban-kewajiban. Semacam ada timbal-balik satu sama lain.

d.      Dasar-dasar Nilai Pijakan Perdamaian
Dalam Ensiklik itu, inspirator Konsili Vatikan II itu menyodorkan empat hakiki yang menjadi syarat perdamaian yang juga terdapat dalam jiwa manusia: kebenaran, keadilan, cinta kasih, dan kemerdekaan.
·         Kebenaran[6] akan membangun perdamaian apabila setiap orang secara tulus mengakui bukan hanya haknya sendiri tetapi juga kewajibannya terhadap sesama manusia. Tugas manusia bukan saja mencari kebenaran tetapi juga menanamkan kebenaran itu kepada orang lain. Kebenaran yang dimaksud bukan sekedar slogan atau teori semata tentang kebenaran, melainkan kebenaran yang dihayati sendiri, yang dijiwai dan yang diaktualkan dalam kesehariannya. Kebenaran itu tidak lain adalah Allah sendiri. Menghayati kebenaran berarti menghayati hidup Allah sendiri.
·         Keadilan[7] akan membangun perdamaian, jika di dalam pelaksanaannya setiap orang menghormati hak orang lain dan benar-benar melaksanakan tugas yang ditentukan bagi mereka. Dengan menghormati hak orang lain berarti, manusia mengakui keberadaan sesamanya. Keberadaannya sebagai makhluk yang memiliki hak dan martabat sebagai ciptaan Tuhan.
·         Cinta kasih[8] akan membangun perdamaian, apabila orang-orang merasakan bahwa kebutuhan orang lain sebagai kebutuhannya sendiri dan membagikan hartanya kepada sesama, terutama nilai-nilai akal budi dan semangat yang mereka miliki. Cintakasih dalam ajaran kristiani menduduki tempat utama. Cintakasih menyangkut segala-galanya. Dengan membagikan segala apa yang ada pada kita, berarti kita membangun suatu dunia yang penuh damai. Membagi cintakasih berarti membagi perdamaian.
·         Kemerdekaan akan membangun perdamaian dan membuatnya berkembang, jikalau di dalam memilih sarana untuk tujuan itu, orang-orang bertindak sesuai dengan akal dan bertanggungjawab akan tindakannya sendiri. Kemerdekaan tidak berarti manusia bebas melakukan sesuatu tanpa dibatasi. Kemerdekaan yang sejati justeru merupakan suatu tindakan yang didasarkan pada kemampuan manusia untuk bertanggungjawab atas segala tindakannya. Yang dimaksudkan disini adalah tindakan bukan hanya sekedar tindakan saja, melainkan tindakan benar yang menghasilkan suatu perdamaian.

4.     Refleksi Dan Penutup
Apakah damai masih ada dalam diri kita? Apakah kita mampu menghadirkan kerajaan damai itu kepada orang lain? Perdamaian harus mulai dari diri sendiri, sesama, dan berakhir pada Tuhan. Keluarga merupakan lahan pertama tempat kita dapat menanamkan benih perdamaian, kepada suami, isteri, anak, dan lain-lain. Setelah itu barulah kita bergerak pada tingkat yang lebih luas; tetangga dan lingkungan di mana saja kita berada dan akhirnya dunia seluruhnya.
Di akhir tulisan ini, marilah kita semua berdoa kepada Tuhan agar Dia menghujankan rahmat perdamaian bagi dunia ini, supaya segala permusuhan dilenyapkan, segala peperangan dan pertikaian segera berakhir, sehingga kita dapat menikmati suatu dunia di mana Mesias memerintah untuk selama-lamanya. Dan bersama Santo Fransiskus Asisi, kita berseru: “Tuhan jadikan kami pembawa damai-Mu ke seluruh muka bumi ini.”



“ Dengan hasrat hati yang terakhir ini, saudara-saudara yang terhormat, semoga perdamaian-Nya meluas sampai ke seluruh kawanan domba yang dipercayakan kepada asuhan kalian…..Bagi sekalian orang yang berkemauan baik, kepada siapa surat ini dialamatkan pula, kami mohonkan keselamatan dan kesejahteraan Allah Yang Mahatinggi.” (PT. 264)



Daftar Pustaka
Beding, Marcel. Adjaran Sosial Geredja, Ende: Arnoldus,  1967.
Hardawiryana, R. (Alih Bahasa). Kumpulan Dokumen AJARAN SOSIAL GEREJA TAHUN 1891-1991 dari RERUM NOVARUM sampai dengan CENTESIMUS ANNUS, Seri Dokumen Gerejawi Edisi Khusus. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1999.
Keiser. B. Solidaritas 100 tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, Maumere: Ledalero, 2009.
Konferensi Waligereja Indonesia.  Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius; Jakarta: Obor, 1996
Komisi Kateketik KWI. Perutusan Murid-murid Yesus: Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/SMK, buku guru II. Yogyakarta: Kanisius,  2004.
Komisi Kateketik KWI. Perutusan Murid-murid Yesus: Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/SMK, buku guru III. Yogyakarta: Kanisius,  2004.
Schultheis,  J. Michael, dkk. Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 1988.



[1] Penjelasan dari bagian ini disarikan dari, R. Hardawiryana, Kumpulan Ajaran Sosial Gereja daru Rerum Novarum sampai Centecimus Annus,  (Jakarta: Dok dan pen KWI, 1999).
[2] Komisi Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial Gereja, (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 333-334.
[3] Bdk. Ibid. hlm 335.
[4] Marcel Beding, Adjaran Sosial Geredja, (Ende: Arnoldus,  1967), hlm. 327
[5] Ajaran Sosial Gereja menegaskan: “ karena semua manusia mempunyai jiwa berbudi dan didiciptakan menurut citra Allah, karena mempunyai kodrat dan asal yang sama, serta karena penebusan Kristus, mempunyai panggilan dan tujuan ilahi yang sama, maka kesamaan asasi antar manusia harus diakui. “ (GS 29). Dari ajaran ini tampak pandangan gereja bahwa hak asasi adalah hak yang melekat pada diri manusia sebagai insan Allah. Bdk. Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius; Jakarta: Obor, 1996), hlm. 21; Lih, Michael J. Schultheis, dkk, Pokok-pokok Ajaran Sosial Gereja, (Yogyakarta:Kanisius,1988), hlm. 58.
[6] Kebenaran berarti keadaan yang cocok atau sesuai dengan hal yang sesungguhnya. Dalam Kitab Suci Kebenaran berarti mengambil bagian dalam kehidupan Allah. Allah adalah sumber kebenaran (Bdk. Firman kedelapan). Komisi Kateketik KWI, Perutusan Murid-murid Yesus: Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/SMK, Buku III (Yogyakarta: Kanisius,  2004), hlm.32-33.
[7] Keadilan berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, misalnya hak untuk hidup yang wajar, hak untuk memilih agama/ kepercayaan, hak untuk mendapatkan pendidikan dsb. Dalam pembedaannya, keadilan dibagi menjadi. a. Keadilan komutatif:menuntut kesamaan dalam pertukaran, misalnya mengembalikan pinjaman atau jual beli yang berlaku pantas, tidak ada yang rugi. b.Keadilan distributif: menuntut kesamaan yang menguntungkan dan dalam menuntut pengurbanan. Misalnya, kekayaan alam dinikmati secara adil dan pengorbanan untuk pembangunan dipikul bersama-sama dengan adil. c.  Keadilan legal: menuntut kesamaan hak dan kewajiban terhadap Negara sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Bdk. Komisi Kateketik KWI, Perutusan Murid-murid Yesus: Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/SMK, Buku III, (Yogyakarta: Kanisius,  2004), hlm.22-23.
[8] Dalam ajaran Kristen, cinta kasih memiliki warna yang khas. Ketika ditanya oleh seorang ahli taurat manakah hukum yang paling utama, Yesus menjawab:”kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu; itulah hukum yang pertama dan terutama”. Yesus langsung menyambung, “dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:37-39). St. Yohanes menambahkan: “Barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya; jikalau seseorang berkata: Aku mengasihi Allah, dan ia membenci  saudaranya, maka ia adalah pendusta” (1 Yoh. 4:20). Kasih kepada sesame dengan demikian merupakan pengejewantahan kasih Allah. Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik,(Yogyakarta: Kanisius; Jakarta: Obor, 1996), hlm. 190-191.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar