Salah satu posisi dalam skuad kesebelasan sepakbola adalah
kiper alias penjaga gawangnya tim. Meski menjadi benteng terakhir dari
pertahanan sebuah tim sepakbola, posisi kiper sering “di-anak tiri-kan” dalam
dunia sepakbola. Lihat saja dalam sistem formasi tim, kiper sering
diabaikan. Dalam formasi sebuah tim
sepakbola, entah 3-5-2, 4-4-2, 4-5-1, 4-3-3, ataupun pengembangan formasi yang
lainnya, yang dihitung hanya 10 orang, tentu saja tidak termasuk kiper di
dalamnya.
Dalam sepakbola yang profesional, peng-anak-tiri-an posisi
kiper nampak dalam hal nominal gajinya. Sering seorang kiper dalam sebuah tim
profesional memiliki gaji yang tidak seberapa dibandingkan pemain lainnya. Kalo
memang ia sangat hebat, paling ia hanya tidak menduduki posisi gaji terendah
dalam tim dan tidak akan pernah menduduki posisi gaji tertinggi. Kalo nggak
percaya coba anda googling gaji kiper hebat semacam Peter Schmeichel, Oliver
Khan, Nelson Dida, Iker Casillas, Gianluigi Buffon, ataupun Peter Cech, dan
bandingkan dengan gaji pemain hebat di posisi lain yang semasa dengannya. Tentu
saja mereka kalah dalam nominalnya.
Bukti lain dari peng-anak-tiri-an kiper dalam sepakbola
profesional adalah menyangkut penganugerahan pemain terbaik dunia atau Ballon
d’Or. Paling banter kiper-kiper hebat itu hanya masuk dalam nominasi. Makin
dikecilkan nominasinya, makin sedikit yang tersisa. Syukur kalo nyampe tiga
besar. Dan sejarah mencatat bahwa belum pernah ada seorangpun kiper yang meraih
gelar Ballon d’Or. Meski ‘kurang penghargaan’, kita tidak dapat menyangkal
bahwa para kiper ini memiliki peranan yang penting dalam sebuah tim dan ada
sebagian di antara mereka yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Dan
sepakbola profesional tidak pernah kehilangan kiper, karena sekecil apapun
penghargaan yang diberikan, kiper tetaplah sebuah pekerjaan yang bisa memberi
hidup.
Perlakuan sepakbola amatir terhadap posisi kiper lebih kejam
lagi. Mungkin karena bukan merupakan sebuah profesi, dalam sepakbola amatir,
kiper menjadi sesuatu yang langka. Dalam pengalaman saya, sangat sering suatu
permainan sepakbola amatir ‘terlambat’ bahkan tidak jadi dilaksanakan karena
nggak ada pemain yang bersedia menjadi kiper. Posisi lain dalam tim boleh tak
lengkap, tak sesuai formasi, ngalor ngidul, namun jika jumlahnya 10, pertandingan
akan tetap berlangsung, tentu saja asalkan ada kiper. Posisi kiper dihindari
karena dirasa kurang kontributif dalam menyumbang keringat. Tapi sebuah tim
sepakbola tetap saja membutuhkan seorang kiper. Alhasil butuh kerelaan yang
lebih dari seseorang untuk menempati posisi ini. Tak jarang pula ada yang sama
sekali tidak memiliki bahkan sekadar pengetahuan atau pun ketrampilan dasar
kiper tetapi ‘terpaksa’ mengisi posisi ini demi kelangsungan sebuah permainan
sepakbola amatir.
Dalam poin-poin inilah saya justru melihat keistimewaan
posisi kiper. Kiper penting tapi di-anak-tiri-kan. Ialah benteng terakhir yang
menjaga pertahanan tim agar tidak kebobolan, tetapi perannya malah
ditinggalkan. Ketiadaan kiper adalah ketiadaan pertandingan sepakbola, tetapi
keberadaannya yang menentukan jalannya pertandingan malah diabaikan. Seorang
kiper memang hanya mendapat sedikit keringat untuk dirinya sendiri, tetapi ia
menyumbang banyak keringat untuk ke-10 anggota tim yang lain. Meski hanyalah
sebuah permainan amatir, perlu diakui bahwa mereka yang akhirnya bersedia
menjadi kiper ini adalah pribadi-pribadi yang memiliki kualitas kerendahan hati
dan kerelaan memberi yang baik. Kita butuh kualitas seorang kiper, bukan hanya
dalam permainan sepakbola, tetapi juga dalam kehidupan.