Jumat, 20 Januari 2012

Beberapa Ulasan Singkat Seputar Teologi Moral Fundamental


Oleh: Nicolas Renleuw
Jurusan FIlsafat


1.       Jelaskanlah dengan cukup mendalam mengapa Gereja mengajarkan dan anda juga percaya bahwa Yesus adalah sungguh manusia? Carilah buktinya bahwa Yesus adalah sungguh manusia! Apa artinya dan apa konsekuensinya bila kita percaya kepada Yesus yang adalah sungguh manusia!
Pernyataan “Yesus adalah sungguh manusia” adalah salah satu pokok yang diimani Gereja (tentu saja termasuk di dalamnya saya) sehingga sudah sewajarnyalah kalau Gereja mengajarkan bahwa Yesus adalah sungguh manusia. Kalau memang harus dijawab, jawaban saya adalah karena memang Yesus adalah sungguh-sungguh manusia. Mungkin yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana membuktikan bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh manusia sebagaimana ditanyakan pula di atas serta apa arti dan konsekuensinya bila saya percaya kepada Yesus yang adalah sungguh manusia.  Di awal refleksi saya ini, saya juga hendak menegaskan bahwa iman yang saya punya berangkat dari suatu pengetahuan dan pengenalan secara pribadi kepada Yesus sebagai yang sungguh Allah dan sekaligus sungguh manusia.
Penegasan bahwa Yesus adalah sungguh manusia selalu berkaitan dengan historisitas pribadi Yesus itu sendiri. Yang hendak ditegaskan di sini ialah bahwa Yesus adalah memang seorang manusia konkret yang pernah hidup danmati di dunia dalam kurun waktu tertentu. Tekanan pada historisitas Yesus menjadi penting karena Yesus historis adalah dasar dari Yesus iman.
Sebenarnya, penegasan bahwa Yesus adalah seorang manusia sudah bercorak teologis, karena informasi apa pun yang kita miliki mengenai Yesus, kita peroleh dari kesaksian Kitab Suci, yakni kesaksian para murid Yesus atau orang-orang Kristen. Kitab Suci bukanlah terutama buku sejarah yang memberikan informasi historis melainkan buku kesaksian iman tentang Yesus. Sehubungan dengan itu, sebagian teolog (Protestan) seperti Barth dan Bultmann berpendapat bahwa kita tidak mungkin mengenal Yesus yang historis murni. Yesus yang kita kenal selalu adalah Yesus iman sehingga menurut mereka unsur historisitas  Yesus tidaklah penting. Yang penting ialah bahwa Yesus iman itu kita terima sehingga kita memperoleh keselamatan. Lebih ekstrim, ada sebagian teolog seperti David Friedrich Strauss dan  Albert Schweitzer yang bahkan menegaskan bahwa Yesus yang diimani oleh orang Kristen berbeda dengan Yesus yang sesungguhnya dalam sejarah. Bultmann bahkan menyimpulkan lebih jauh, dengan mengatakan hal ini memberikan ‘kebebasan’ bagi setiap orang Kristen untuk membentuk gambaran Yesus sendiri menurut iman yang sesuai dengan kebutuhannya.
Ini adalah pemikiran Teologi Liberal yang melucuti Alkitab dan menyusun sendiri gambaran Yesus sesuai dengan keinginan manusia secara pribadi. Ini adalah ‘Relativism’: sebab Yesus digambarkan sesuai dengan kehendak pribadi dan bukannya sesuai dengan kebenaran yang sungguh terjadi. Pendapat seperti ini kemudian dikecam dengan keras oleh Paus Pius X dalam surat ensikliknya Pascendi Dominici Gregis, yang menyebutkan ajaran yang sedemikian sebagai puncak dari segala ajaran sesat, “the synthesis of all heresies”, sebab ajaran tersebut menolak seluruh kebenaran objektif di dalam iman Kristiani.
Sebagai reaksi atas pandangan tersebut di atas juga, teolog lain seperti Walter Kasper beranggapan bahwa historisitas Yesus adalah unsur penting untuk membela dasar iman. Alasannya adalah bahwa iman akan Yesus tidak bisa didasarkan atas dongeng atau cerita karangan para murid yang mungkin belum tentu kebenarannya. Tantangannya di sini adalah bagaimana kita membuktikan bahwa Yesus yang informasinya kita terima dari Kitab Suci sebagai buku iman adalah juga Yesus yang benar-benar historis. Sehubungan dengan itu, Kasper berpendapat bahwa walaupun data-data biblis tentang Yesus yang dituliskan dalam Kitab Suci sudah dalam rangka pewartaaan iman, fakta bahwa peristiwa itu dialami Yesus tidak perlu disangsikan karena sifat kontradiktif peristiwa itu bila dihubungkan dengan kesaksian iman. Kesaksian iman itu tidak menyembunyikan fakta historis hal-hal buruk yang juga dialami Yesus. Para penulis Kitab Suci (Injil) telah berupaya untuk bersifat objektif sehingga bukan hanya memaparkan aspek-aspek positif yang dialami atau dibuat Yesus melainkan juga aspek-aspek negatif yang menimpanya. Jadi sifat kontradiktif inilah yang menjadi penopang kuat untuk bicara tentang historisitas peristiwa-peristiwa tersebut.
‘Aspek-aspek negatif’ atau cerita tentang ‘hal-hal buruk’ yang dialami Yesus tersebut antara lain sebagai berikut.
ü  Yesus dilahirkan dari rahim Maria, seorang manusia biasa dan sederhana (Mat 1:18-25; Luk 2:1-7). Meskipun umat Kristen Perdana mengetahui dan mengimani Yesus yang bangkit, namun kehadiran-Nya di bumi ini juga melalui proses kelahiran seperti manusia pada umumnya. Yesus, sebagaimana manusia pada umumnya, juga kemudian mengalami fase-fase pertumbuhan fisik, mental, intelek, kesadaran sosial, dan sebagainya sejak bayi, masa kanak-kanak, remaja, pemuda hingga dewasa. Jadi kewajaran perkembangan ini adalah lumrah dan secara normal juga berlaku bagi sifat dasar insani Kristus. Oleh karena itu, dalam berbagai kondisi Yesus pun dapat merasakan keletihan fisik; mengantuk lalu tertidur; haus; geram, jengkel, bahkan marah (Mrk 3:5); gelisah, gentar dan takut (Mrk 14:33); terharu (Yoh 12:27, 13:21), sedih (Mat 26:38, Mrk 14:34), dan menangis. Yesus merasakan apa yang dirasakan manusia. Ia begitu solider dengan umat manusia seluruhnya.
ü  Pembaptisan Yesus di Sungai Yordan (Mrk 1:9-11; Mat 3:13-17; Luk 3:21-22; Yoh 1:29-33) juga mengungkapkan sisi kemanusiaannya. Kenyataan bahwa Yesus menempatkan diri pada barisan orang-orang yang dibaptis oleh Yohanes Pembaptis diterima secara historis oleh para ahli. Dalam cahaya iman Kristen Perdana yang bermula pada peristiwa Paskah dan Pentekosta, orang bisa membayangkan bahwa seandainya peristiwa itu tidak historis, tidak mungkin umat Kristen pertama membayangkan yesus yang mereka imani itu dengan rendah hati menyamakan diri dengan barisan orang berdosa. Dengan memasuki sungai Yordan untuk minta dibaptis, Yesus menyatakan kemanusian-Nya. Ia adalah manusia yang lemah lembut dan rendah hati; manusia yang solider dengan nasib sesamanya; manusia yang menampilkan diri dalam kerapuhan, dan bukan dalam kekuatan; manusia yang rela berkorban, dan bukan mencari keuntungan dirinya sendiri.
ü  Percobaan di padang gurun (Mrk 1:12-13; Mat 4:1-11; Luk 4:1-3). Meskipun kelihatannya peristiwa ini tidak persis terjadi seperti yang dikisahkan, menurut Dupont peristiwa pencobaan ini sekurang-kurangnya hendak mengemukakan beberapa fakta:
Ø  Injil mau mengatakan bahwa selama hidup-Nya di dunia ini, Yesus tidak bebas dari godaan-godaan.  Yesus mengalaminya secara konkret, nyata dan sangat dekat. Misalnya ketika Petrus menggodai-Nya untuk menolak penderitaan (Mrk 8:33; Mat 16:23) atau ketika di kayu salib, Yesus juga mengalami godaan untuk turun dari kayu salib (Mat 27:42).
Ø  Secara psikologis, rupanya masuk akal bahwa Yesus mengalami godaan itu pada awal karya-Nya.
Ø  Menurut cara berpikir jemaat Kristen Perdana, setiap tawaran jahat bukan semata-mata muncul dari konflik psikologis dengan diri sendiri, tapi juga bisa dikenakan pada penggodaan setan.
Pencobaan terhadap Yesus di padang gurun ini sekali lagi hendak menegaskan bahwa Yesus adalah seorang manusia. Sekali lagi Ia menunjukkan solidaritasnya dengan umat manusia. Godaan itu menunjukkan bahwa Yesus mengalami konsekuensi dari kondisi kemanusiaan yang terluka oleh dosa.
ü  Di taman Getsemani, Yesus mengalami ketakutan dan gentar. Yesus seolah-olah tiba-tiba menjadi sadar akan peristiwa yang mengerikan yang segera akan terjadi. Dari satu pihak Ia merasa berjalan sesuai dengan kehendak Allah, tetapi dari lain pihak ada  ancaman kematian. Pengalaman itu membuat Yesus terkejut dan ketakutan. Dari penderitaan Yesus  di Getsemani, kita bisa mengenal manusia Yesus yang membawa di dalam diri-Nya kerapuhan manusiawi. Di situ, tampak bahwa Yesus bukanlah seorang manusia superman, seperti kesan umum bila kita berbicara tentang Yesus iman sebagai Putera Allah. Ketakutan Yesus megnhadapi kematian adalah bukti bahwa Yesus berada dalam kondisi kemanusiaan universal yang takut terhadap kematian.
ü  Kematian Yesus di Golgota (Mat 27:45-56; Mrk 15:33-41; Luk 23:44-49; Yoh 19:28-30) sebagai pengurbanan diri-Nya untuk menebus dosa-dosa umat manusia akhirnya semakin menegaskan bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh manusia.
Kesimpulannya, Yesus dari Nazareth adalah seorang manusia yang autentik dan serentak unik. Ia tidak berdosa, tetapi dijadikan pendosa, dan digolongkan di antara kaum penjahat. Yesus yang adalah sungguh-sungguh manusia ini telah memberikan suatu visi antropologi kristiani yang baru. Ia memberikan identitas kepada kekristenan. Yesus mengemukakan  pengurbanan diri atau pengosongan diri sebagai suatu keutamaan manusiawi yang mengandung imperatif moral. Artinya, manusia akan menjadi manusia bila mengembangkan keutamaan berkurban. Pengorbanan diri Yesus menjadi sebiah keutamaan karena Ia rela menanggung penderitaan yang bukan disebabkan oleh kesalahan-Nya sendiri. Pengorbanan diri sebagai bagian dari tugas perutusan inilah yang menjadi ciri khas manusia Kristen. Dengan demikian, konsekuensi logis bahwa kita percaya akan Yesus yang sungguh manusia berarti kita harus (bukan hendaknya) mengembangkan suatu nilai pengurbanan diri sebagaimana telah diteladankan oleh Yesus sendiri. Saya percaya dengan segenap akal budi dan dengan sepenuh hati akan kenyataan ini, dan menjadikan manusia Yesus sebagai model keteladanan khususnya dalam mengembangkan keutamaan berkurban.


2.       Jelaskanlah dengan cukup mendalam mengapa Gereja mengajarkan dan anda juga percaya bahwa Yesus adalah sungguh Allah? Carilah buktinya bahwa Yesus adalah sungguh Putera Allah! Apa artinya dan apa konsekuensinya bila kita percaya kepada Yesus yang adalah sungguh Putera Allah!
Pertama-tama, perlu ditegaskan bahwa gelar “Putera Allah” adalah istilah biblis yang hendak menjelaskan atau menekankan soal kodrat keilahian yang dimiliki Yesus. Yesus adalah sungguh-sungguh Allah. Oleh karena itu, terlebih dahulu akan dipaparkan data-data biblis soal gelar “Putra Allah”.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, ungkapan Putera Allah ditujukan kepada beberapa kelompok manusia yakni: Umat Israel yang dikasihi dan dilindungi oleh Allah (Kel 4:22-23; Hos 11:1; Yer 31:9), Para Malaikat (Ayb 1:6; 38:7), Raja keturunan Daud (2Sam 7:14; Mzm 2:7; 1Taw 17:13), orang-orang benar dari Umat Israel (Ul 14:1-2), Orang-orang jujur yang dianiaya (Keb Sal 2:13-18), dan orang-orang Kristen secara analog (Rm 8:16-18). Yesus dari Nazareth juga disebut Anak Allah. Menurut Perjanjian Baru, sebutan untuk Yesus tersebut mengacu pada dua pengertian yakni sebagai Raja Mesianis yang memenuhi harapan Israel (Mrk 3:11; 5:7; Luk 4:41) dan sebagai Putera Tunggal Allah yang sehakikat dengan Bapa (Yoh 3:18; 5:17-23; 16:32; Kol 1:15-17; Ibr 4:14).
Data-data biblis yang dikemukakan tersebut di atas akan menjadi dasar bagi refleksi teologis lebih lanjut mengenai identitas Yesus sebagai Putera Allah. Yang perlu menjadi catatan penting di sini ialah bahwa sehubungan dengan gelar Putera Allah yang dikenakan pada Yesus sebagaimana dikemukakan dalam Kitab Suci adalah gelar-gelar post-paskah, maka masih bisa ditanyakan apakah ada “semacam kesadaran diri” pada Yesus sebagai Putera Allah? Artinya, mungkinkah Yesus historis itu sendiri sadar akan dirinya sebagai Putera Allah dalam arti sebagai Putera Tunggal Allah? Refleksi teologis akan identitas Yesus sebagai Putera Allah ini atau yang disebut kristologi akan dikemukakan berdasarkan dua sudut pandang yakni kristologi implisit dan kristologi eksplisit.
a.       Kristologi Implisit atau Kristologi dari bawah
Kristologi eksplisit ialah kristologi yang berangkat dari Yesus historis untuk mencari pengetahuan atau pun membuktikan bahwa Yesus adalah Putra Allah. Persoalan pokoknya bagaimana kita bisa membuktikan atau sampai pada pemahaman bahwa Yesus sendiri tahu atau menyadari bahwa Ia adalah Putera Allah. Hal ini dapat dibuktikan atau direfleksikan dalam tiga poin besar berikut ini.
  Kesadaran diri Yesus sebagai Putera Allah
Yesus sendiri tidak pernah secara eksplisit mengklaim gelar-gelar kristologis, khususnya Ia juga tidak pernah berbicara tentang diri-Nya sendiri sebagai Putera Allah. Namun hal itu tidak berarti bahwa Yesus tidak menyadari bahwa Ia adalah Putera Allah. Menurut Walter Kasper, kesadaran diri Yesus sebagai Putera Allah itu terlihat secara tidak langsung atau implisit dalam ekspresi-ekspresi yang sangat empatik. Kasper menunjukkan beberapa hal yang mengungkapkan ekspresi tersebut.

1)      Khotbah-khotbah Yesus (baik isi maupun caranya)
Rumusan yang paling populer digunakan ketika Yesus mengajar terutama ketika mengkontraskan ajaran Perjanjian Lama dengan ajaran-Nya ialah “Tetapi Aku berkata kepadamu…” (Mat 5:22,28). Rumusan tersebut menempatkan kata-kata Yesus itu sejajar bahkan melampaui apa yang dikatakan dalam Perjanjian Lama, padahal hukum Perjanjian Lama adalah hokum dari Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus telah mengklaim bagi diri-Nya suatu otoritas yang sama dengan otoritas Allah dalam Perjanjian Lama. Ia merasa diri sebagai “mulut Allah” atau “suara Allah”. Dan klaim ini tidak ada paralelnya dalam Yudaisme.

2)      Tingkah laku dan pelayanan Yesus
Ekspresi dari kesadaran akan diri-Nya sebagai Putera Allah juga nampak dalam tingkah laku dan pelayanan Yesus. Contoh paling konkret adalah ketika Ia makan bersama dengan para pemungut cukai dan pendosa. Di dalam Yudaisme, makan bersama berarti “persekutuan khusus dalam Allah”. Tiap perjamuan adalah prefigurasi (gambaran antisipatif) dari perjamuan eskatologis dan persekutuan dengan Allah. Ketika Yesus menerima orang-orang berdosa ambil bagian dalam perjamuan di mana Dia hadir, itu berarti bahwa Yesus menerima para pendosa masuk dalam persekutuan dengan Allah. Ketika tindakan-Nya ini dikritik (Luk 15:2), Yesus menceritakan perumpamaan tentang anak yang hilang dan Bapa yang baik hait (Luk 15:11-32). Dengan bertindak demikian, Yesus mengidentifikasikan perbuatan-Nya dengan tindakan Allah bagi para pendosa.

3)      Pemilihan para murid
Mempunyai murid adalah hal yang biasa bagi para rabi atau guru di kalangan Yudaisme. Tetapi ada perbedaan besar antara murid-murid Yesus dengan murid para rabi lain. Pertama, orang tidak bisa melamar untuk menjadi murid-Nya. Yesus sendirilah yang dengan kuasa memilih orang-orang yang dikehendaki-Nya (Mrk 3:13). Kedua, murid Yesus bersifat tetap dan tidak ada kemungkinan untuk akan naik jabatan menjadi guru karena hanya ada satu-satunya guru yakni Yesus sendiri (Mat 10:24). Ketiga, kesatuan antara Yesus dengan para murid adalah kesatuan seluruh hidup, sehingga harus meninggalkan segala ikatan lain (Mrk 10:28). Tuntutan radikalitas kemuridan bagi pengikut Yesus ini mengisyaratkan kesadaran diri Yesus sebagai guru yang tidak bisa disejajarkan dengan para rabi Yahudi.

4)      Cara Yesus menyapa Tuhan Allah
Secara historis, dalam kultur Yudaisme, hanya Yesus yang menyapa Tuhan Allah dengan sebutan “Abba” (Bapa). Ia membedakan antara sapaan “Bapa-Ku”  (Mrk 14:36; Mat 11:25) dan “Bapamu” (Luk 6:36; 12:30,32) atau “Bapamu surgawi” (Mrk 11:25; Mat 23:9). Sapaan “Bapa-Ku” yang dipakai Yesus mengungkapkan relasi singular antara Yesus dengan Allah. Cara-Nya dalam menyapa Allah tersebut, juga ketika dalam doa-doa-Nya menyingkapkan kesadaran Yesus sebagai Putera Allah.



  Cara Yesus berelasi dengan Bapa-Nya
Selain dengan cara berdoa-Nya, relasi Yesus dengan Allah sebagai Bapa-Nya juga tampak dalam tindakan-tindakan dan dalam seluruh hidup dan mati-Nya. Makanan-Ku ialah melaksanakan kehendak Bapa-Ku (Yoh 4:34). Aku datang untuk melaksanakan kehendak Dia yang mengutus Aku (Yoh 8:42). Walter Kasper menyebut corak relasi Yesus dengan Bapa-Nya tersebut sebagai relasi efektif keputraan. Maksudnya ialah ada kesatuan timbal balik yang saling memasuki dan menentukan identitas kedua-Nya. Allah menjadi Bapa karena relasi-Nya dengan Putera, dan sebaliknya Yesus menjadi Putera karena relasi-Nya dengan Bapa.
Ketaatan Yesus kepada Bapa adalah ungkapan relasi “Keputraan” sebagai komunikasi diri antara Yesus dan Bapa-Nya. Kasper menulis, “Dalam keberadaan-Nya sebagai Putra, Yesus memiliki asal-usul terdalam pada Allah dan menjadi bagian dari Allah. Yesus terarah kepada Bapa karena sebelumnya Bapa terarah kepada Yesus. Dengan demikian, dalam diri Yesus historis yang pernah hidup dan berkarya di Palestina tersebut Tuhan menyatakan diri-Nya secara eskatologis dan definitif sebagai Bapa dari Yesus Kristus sehingga tidak mungkin kita berbicara tentang Allah dengan mengabaikan Yesus.
  Kebaruan pewartaan Yesus sebagai Putera Allah
Selain cara keterarahan Yesus kepada Bapa sebagai cara baru seorang manusia berelasi dengan Tuhan, menurut Kasper kebaruan yang paling radikal kalau dibandingkan dengan Yudaisme adalah skandal penyaliban Yesus. Orang Yahudi mengharapkan datangnya seorang Raja Mesias dari keturunan Daud untuk menegakkan Kerajaan Israel. Sementara Yesus akhirnya disalibkan, suatu bentuk hukuman mati untuk menghinakan dan menyiksa para penjahat bagi orang Romawi. Cukup banyak ekseget yang berpendapat bahwa Yesus sendiri tidak mengerti makna kematian-Nya di salib adalah peristiwa keselamatan mengingat keyakinan populer dalam Yudaisme tentang keselamatan Allah sebagai kekuatan dan kemenangan Allah. Namun dari pihak lain, harus dikatakan bahwa penyaliban yesus adalah konsekuensi dari khotbah-khotbah dan tindakan-Nya. Yesus menyadari reaksi marah dari orang-orang yang dikritik-nya sekaligus menyadari nasib para nabi yang berani menyatakan kebenaran. Ia juga menggunakan semua penafsiran Kitab Suci untuk member arti bagi nasib-Nya sendiri.
Berkaitan dengan arti salib dan penebusan, Kasper berpendapat bahwa makna penebusan dalam salib Yesus justru terletak pada sifat kontradiktifnya. Salib adalah lambang penghinaan dan kekalahan, sedangkan penebusan adalah karya Allah yang penuh kemenangan. Kematian Yesus di salib adalah bentuk historis dimana Kerajaan Allah menjadi nyata sekarang ini. Beginilah cara Kerajaan Allah hadir untuk melampaui kelemahan manusia; suatu kekayaan ilahi dalam kemiskinan manusiawi; suatu cinta dalam penyerahan diri; suatu kepenuhan dalam kekosongan; dan suatu kehidupan di dalam kematian.


b.      Kristologi Eksplisit
Kristologis eksplisit adalah refleksi tentang gelar Yesus sebagai Putera Allah sesudah kebangkitan atau gelar-gelar kristologis post-paskah. Objek materialnya adalah Yesus Iman, bukan Yesus historis. Yesus iman adalah Yesus sebagaimana dipercaya, digambarkan dan diwartakan oleh para murid, khususnya jemaat Kristen Perdana. Kristologis eksplisit ini tampak terlebih di dalam surat-surat Paulus dan tulisan-tulisan Yohanes.
Ada tuduhan dari para teolog liberal seperti Adolf von Harnack bahwa pengakuan iman Yesus sebagai Allah atau Putra Allah adalah sangat dipengaruhi oleh mitologi Yunani, misalnya ide tentang “divine man” (theioi Andres – manusia ilahi) maupun gagasan “kebijaksanaan” yang ada bersama Allah dalam teks-teks Kitab Suci Yahudi. Menurutnya, gelar kristologis dari Yohanes dan Paulus yang mengakui Yesus sebagai Allah tidak lain hanyalah penerapan kedua gagasan tadi pada pribadi Yesus sehingga terkesan Yesus yang sebenarnya hanyalah manusia biasa itu dijadikan Tuhan oleh jemaat Kristen Perdana.
Walter Kasper menentang pendapat ini dengan menegaskan lagi bahwa kekristenan berangkat dari Yesus yang tersalib. Karena itu tuduhan para teolog liberal itu tidaklah beralasan mengingat Yesus yang disalibkan adalah batu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang Yunani (sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya). Memang benar bahwa dalam Perjanjian Baru sendiri sudah ada pengaruh-pengaruh Yudaidme dan Hellenisme. Akan tetapi, pengaruh-pengaruh itu tidak menjadi latar belakang iman Kristen melainkanhanya menjadi pendukungnya saja. Kesimpulannya, iman akan Yesus Kristus sebagai Putra Allah muncul secara independen dan original dalam kekristenan.
Pengakuan iman secara eksplisit dari para murid bahwa Kristus adalah Putra Allah berangkat dari pengalaman akan kebangkitan. Yang hendak ditegaskan di sini ialah bahwa dengan peristiwa kebangkitan para murid menjadi sadar bahwa Yesus adalah Putra Allah yang memang sudah sejak awal mula. Gagasan bahwa kebangkitan adalah saat pengangkatan Yesus sebagai Putra Allah adalah keliru mengingat Allah tidak mungkin menjadi Allah sejak waktu tertentu.
Juga bahwa kristologi implisit menjadi latar belakang kristologi eksplisit. Artinya, pertemuan dengan Yesus yang bangkit mengingatkan para murid akan Yesus historis. Yesus yang bangkit membuat mereka semakin yakin bahwa Dia adalah sungguh-sungguh Putra Allah. Hubungan saling melengkapi ini sangat perlu untuk memahami misteri identitas Yesus Kristus secara keseluruhan. Pribadi Yesus memiliki corak eskatologis dalam arti menjadi pemenuhan secara final, total, radikal, dan definitif bagi seluruh realitas ciptaan. Yesus adalah Putra Allah dalam arti Putra Tunggal Allah, dan di dalam Dia kita menjadi anak-anak Allah (RM 8:14-17), dan di dalam Dia Allah menentukan kita menjadi serupa dengan gambaran Putera-Nya (Rm 8:29.


3.       Apakah relevansi identitas Yesus sebagai sungguh Allah dan sungguh manusia bagi eksistensi kita sebagai orang Kristen? Berdasarkan identitas Yesus yang menjadi landasan keberadaan kita itu, apakah motivasi yang muncul bagi hidup moral yang baik? Mengapa saya harus hidup baik secara moral?
Iman akan Yesus Kristus yang adalah sungguh Allah dan sungguh manusia memberikan sebuah visi baru tentang eksistensi manusia.  Begitu Yesus yang adalah Putra Allah memasuki “kemanusiaan”, arah atau tujuan final dari keberadaan manusia selalu bersangkut paut dengan Yesus Kristus, Allah-manusia itu.
Di dalam keesaan PribadiNya maka Yesus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Di dalam teologi, dua sifat dasar Allah dan manusia disebut sebagai fakta 'theantropis' (bahasa Yunani: 'Theos' berarti Allah dan 'anthropos' berarti manusia) Yesus Kristus. KeilahianNya dan kemanusiaanNya tidak boleh dipandang sebagai dua tingkatan yang berbeda. KemanusiaanNya bukanlah suatu cara berada yang lebih rendah dan menganggap keilahianNya menjadi lebih tinggi. Kemanusiaan Yesus tidak dipandang sebagai suatu “selubung” saja dan keilahianNya tidak dipandang hanya “roh”Nya saja. Atau dengan kata lain KemanusiaanNya bukan dalam keadaan semu saja sehingga hanya keilahianNya yang lebih penting. Tapi kemanusiaan dan keilahian menyatu dan tidak terpisahkan dalam satu Pribadi Yesus. Dalam Yesus Kristus sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Allah. Di dalam keesaan Yesus merangkap kedua “tabiat” itu.
Di dalam kedua tabiat ini, kita bisa memahami karya Yesus Kristus untuk dunia ini. Ia telah datang untuk melaksanakan karya penebusan yaitu perdamaian antara Allah dengan manusia. Oleh karena Dia sungguh-sungguh Allah maka Ia sanggup untuk memperdamaikan manusia dengan Allah. Oleh karena Ia sungguh-sungguh manusia maka perdamaian itu benar-benar diperuntukkan bagi manusia. Artinya Ia satu dengan Allah dan juga satu dengan manusia.
Hal ini antara lain ditegaskan oleh ketetapan Konsili Chalsedon. Inti pengajaran dari konsili ini antara lain:
Ø  Yesus pada saat yang sama adalah sempurna dalam keilahian dan sempurna dalam kemanusiaan. Yesus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia.
Ø  Dua hakekat/natur Yesus: tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa perpecahan, tanpa perpisahan, karakteristik dari setiap natur tetap dipertahankan dan bersama-sama membentuk satu pribadi.
Beberapa catatan penting Konsolo Chalsedon yang perlu digarisbawahi tentang kodrat Yesus Kristus adalah sebagai berikut.:
·         Meskipun keilahian dan kemanusiaan Yesus adalah tanpa perpecahan dan tanpa perpisahan, tetapi dua hakekat tersebut tetap bisa dibedakan.
·         Masing-masing hakekat tetap memiliki sifat-sifatnya sendiri.
·         Hakekat ilahi Yesus tidak berubah menjadi hakekat manusiawi Yesus  selama di dunia, Yesus tetap Allah sejati.
·         Hakekat manusiawi Yesus tidak berubah menjadi hakekat ilahi Yesus setelah kenaikan ke surga, Yesus tetap manusia sejati.
·         Dua hakekat Yesus tidak bercampur membentuk pribadi ketiga.
·         Yesus: dua hakekat tetapi satu pribadi (Logos), cf. Tritunggal: satu hakekat tetapi tiga pribadi.
Sekarang telah menjadi jelas soal identitas Yesus yang adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Pertanyaan refleksi lebih lanjut adalah apakah konsekuensi Identitas Yesus bagi eksistensi manusia? Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Yesus telah menjumpai manusia sebagai manusia, bukan hanya sebagai Putera Allah. Dengan kata lain, Yesus telah mengambil struktur ontologis keberadaan manusia konkret. Jika kita mendefinisikan tindakan moral sebagai ekspresi eksistensi manusia, perlulah Yesus Kristus menjadi dasar dari eksistensi manusia itu. Kesamaan ontologism antara Yesus dengan setiap orang membebaskan setiap orang dari segala belenggu yang menghalangi tindakan moral yang baik. Maksudnya, orang lebih dimampukan untuk berbuat yang baik dan menghindari yang jahat. Lebih jauh lagi, kehadiran Yesus membuka komunikasi efektif dengan Allah sehingga eksistensi manusia terarah kepada Allah. Kehidupan moral yang baik bertujuan untuk mengarahkan manusia menuju Allah.
Identitas Yesus memainkan peranan penting di dalam kehidupan moral manusia karena Ia menjadi solider atau serupa dengan kita. Bagaimana Yesus solider dengan manusia?
Ø  Solidaritas demi kesamaan. Maksudnya, Yesus solider dengan manusia dengan kehadiran-Nya di antara manusia. ia menjadi sama dengan manusia dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa.
Ø  Solidaritas demi pemenuhan. Artinya, yesus solider denga manusia dengan mengambil “kemanusiaan” dalam diri-Nya sehingga Ia menjadi pemenuhan dari kemanusiaan kita. Yesus bukan hanya menjadi manusia begitu saja, melainkan ia memberikan kepenuhan kepada kemanusiaan itu.
Ø  Solidaritas demi identitas-Nya sebagai Putera Allah. Maksudnya, Yesus solider dengan manusia dalam kapasitasnya sebagai Dia yang mampu menjadi jawaban atas misteri manusia.
Demikianlah pengenalan akan identitas Yesus ini memberi motivasi untuk melaksanakan hidup moral yang baik. Saya harus hidup baik secara moral karena kehidupan moral merupakan ekspresi dari keberadaan manusia (agree sequitur esse). Identitas Yesus Kristus itulah yang telah memberikan pendasaran ontologis bagi kehidupan moral ini. Secara sederhana, dapat saya katakan bahwa saya harus hidup baik secara moral karena Yesus yang saya imani itu telah terlebih dahulu memberikan teladan bagaimana seharusnya menjadi seorang manusia dengan berbagai keutamaan moral yang telah dipraktekkannya. Ia adalah visi manusia Kristen, model dan teladan manusia sejati yang dari pada-Nya saya menimba cahaya untuk membentuk kehidupan moralitas yang baik dan tentunya terarah kepada Allah sendiri.
Akhirnya, saya harus mengakui bahwa refleksi sederhana (dan mungkin tidak cukup teologis) ini telah merombak seluruh cara saya mengembangkan moralitas dan lebih jauh kemanusiaan saya. Selama ini, saya merasa saya harus hidup baik hanya karena saya ingin masuk surga. Saya menjadi sadar bahwa motivasi ingin masuk surga sekali pun bukanlah motivasi yang murni karena masih mengharapkan upah atas apa yang saya buat. Saat ini, Yesuslah yang menjadi motivasi saya. Keseluruhan hidup dan identitas- Nya adalah alasan mengapa saya harus mengembangkan moralitas yang baik.













Daftar Bacaan
Groenen, C., Dr., OFM. Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus Pada Umat Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Jacobs, Tom, DR., SJ. Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Pakpahan, N. H., S.Th. Yesus Kristus sebagai Manusia. Buletin Narhasem, September 2004.
Sujoko, Albertus, MSC. Identitas Yesus dan Misteri Manusia: Ulasan Tema-Tema Teologi Moral Fundamental. Yogyakarta: Kanisius, 2009. (Sumber Primer)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar