Oleh: Nicolas
Renleuw
Jurusan FIlsafat
1.
Jelaskanlah dengan cukup mendalam mengapa
Gereja mengajarkan dan anda juga percaya bahwa Yesus adalah sungguh manusia?
Carilah buktinya bahwa Yesus adalah sungguh manusia! Apa artinya dan apa
konsekuensinya bila kita percaya kepada Yesus yang adalah sungguh manusia!
Pernyataan “Yesus adalah sungguh manusia” adalah salah satu
pokok yang diimani Gereja (tentu saja termasuk di dalamnya saya) sehingga sudah
sewajarnyalah kalau Gereja mengajarkan bahwa Yesus adalah sungguh manusia.
Kalau memang harus dijawab, jawaban saya adalah karena memang Yesus adalah
sungguh-sungguh manusia. Mungkin yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana
membuktikan bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh manusia sebagaimana ditanyakan
pula di atas serta apa arti dan konsekuensinya bila saya percaya kepada Yesus
yang adalah sungguh manusia. Di awal
refleksi saya ini, saya juga hendak menegaskan bahwa iman yang saya punya
berangkat dari suatu pengetahuan dan pengenalan secara pribadi kepada Yesus
sebagai yang sungguh Allah dan sekaligus sungguh manusia.
Penegasan bahwa Yesus adalah sungguh manusia selalu berkaitan
dengan historisitas pribadi Yesus itu sendiri. Yang hendak ditegaskan di sini
ialah bahwa Yesus adalah memang seorang manusia konkret yang pernah hidup danmati
di dunia dalam kurun waktu tertentu. Tekanan pada historisitas Yesus menjadi
penting karena Yesus historis adalah dasar dari Yesus iman.
Sebenarnya, penegasan bahwa Yesus adalah seorang manusia sudah
bercorak teologis, karena informasi apa pun yang kita miliki mengenai Yesus,
kita peroleh dari kesaksian Kitab Suci, yakni kesaksian para murid Yesus atau
orang-orang Kristen. Kitab Suci bukanlah terutama buku sejarah yang memberikan
informasi historis melainkan buku kesaksian iman tentang Yesus. Sehubungan
dengan itu, sebagian teolog (Protestan) seperti Barth dan Bultmann berpendapat
bahwa kita tidak mungkin mengenal Yesus yang historis murni. Yesus yang kita
kenal selalu adalah Yesus iman sehingga menurut mereka unsur historisitas Yesus tidaklah penting. Yang penting ialah
bahwa Yesus iman itu kita terima sehingga kita memperoleh keselamatan. Lebih
ekstrim, ada sebagian teolog seperti David Friedrich Strauss dan Albert Schweitzer yang bahkan menegaskan bahwa
Yesus yang diimani oleh orang Kristen berbeda dengan Yesus yang sesungguhnya
dalam sejarah. Bultmann bahkan menyimpulkan lebih jauh, dengan mengatakan hal
ini memberikan ‘kebebasan’ bagi setiap orang Kristen untuk membentuk gambaran
Yesus sendiri menurut iman yang sesuai dengan kebutuhannya.
Ini adalah pemikiran Teologi Liberal yang melucuti Alkitab
dan menyusun sendiri gambaran Yesus sesuai dengan keinginan manusia secara
pribadi. Ini adalah ‘Relativism’:
sebab Yesus digambarkan sesuai dengan kehendak pribadi dan bukannya sesuai
dengan kebenaran yang sungguh terjadi. Pendapat seperti ini kemudian dikecam
dengan keras oleh Paus Pius X dalam surat ensikliknya Pascendi Dominici Gregis, yang
menyebutkan ajaran yang sedemikian sebagai puncak dari segala ajaran sesat, “the synthesis of all heresies”,
sebab ajaran tersebut menolak seluruh kebenaran objektif di dalam iman
Kristiani.
Sebagai reaksi atas pandangan tersebut di atas juga, teolog
lain seperti Walter Kasper beranggapan bahwa historisitas Yesus adalah unsur
penting untuk membela dasar iman. Alasannya adalah bahwa iman akan Yesus tidak
bisa didasarkan atas dongeng atau cerita karangan para murid yang mungkin belum
tentu kebenarannya. Tantangannya di sini adalah bagaimana kita membuktikan
bahwa Yesus yang informasinya kita terima dari Kitab Suci sebagai buku iman
adalah juga Yesus yang benar-benar historis. Sehubungan dengan itu, Kasper
berpendapat bahwa walaupun data-data biblis tentang Yesus yang dituliskan dalam
Kitab Suci sudah dalam rangka pewartaaan iman, fakta bahwa peristiwa itu
dialami Yesus tidak perlu disangsikan karena sifat kontradiktif peristiwa itu bila
dihubungkan dengan kesaksian iman. Kesaksian iman itu tidak menyembunyikan
fakta historis hal-hal buruk yang juga dialami Yesus. Para penulis Kitab Suci
(Injil) telah berupaya untuk bersifat objektif sehingga bukan hanya memaparkan
aspek-aspek positif yang dialami atau dibuat Yesus melainkan juga aspek-aspek
negatif yang menimpanya. Jadi sifat kontradiktif inilah yang menjadi penopang
kuat untuk bicara tentang historisitas peristiwa-peristiwa tersebut.
‘Aspek-aspek negatif’ atau cerita tentang ‘hal-hal buruk’
yang dialami Yesus tersebut antara lain sebagai berikut.
ü
Yesus dilahirkan dari
rahim Maria, seorang manusia biasa dan sederhana (Mat 1:18-25; Luk 2:1-7).
Meskipun umat Kristen Perdana mengetahui dan mengimani Yesus yang bangkit,
namun kehadiran-Nya di bumi ini juga melalui proses kelahiran seperti manusia
pada umumnya. Yesus, sebagaimana manusia pada umumnya, juga kemudian mengalami
fase-fase pertumbuhan fisik, mental, intelek, kesadaran sosial, dan sebagainya
sejak bayi, masa kanak-kanak, remaja, pemuda hingga dewasa. Jadi kewajaran
perkembangan ini adalah lumrah dan secara normal juga berlaku bagi sifat dasar
insani Kristus. Oleh karena itu, dalam berbagai kondisi Yesus pun dapat
merasakan keletihan fisik; mengantuk lalu tertidur; haus; geram, jengkel,
bahkan marah (Mrk 3:5); gelisah, gentar dan takut (Mrk
14:33); terharu (Yoh
12:27, 13:21), sedih (Mat 26:38, Mrk 14:34), dan menangis. Yesus merasakan apa yang dirasakan manusia. Ia
begitu solider dengan umat manusia seluruhnya.
ü Pembaptisan
Yesus di Sungai Yordan (Mrk 1:9-11; Mat 3:13-17;
Luk 3:21-22; Yoh 1:29-33) juga mengungkapkan sisi kemanusiaannya. Kenyataan
bahwa Yesus menempatkan diri pada barisan orang-orang yang dibaptis oleh
Yohanes Pembaptis diterima secara historis oleh para ahli. Dalam cahaya iman
Kristen Perdana yang bermula pada peristiwa Paskah dan Pentekosta, orang bisa
membayangkan bahwa seandainya peristiwa itu tidak historis, tidak mungkin umat
Kristen pertama membayangkan yesus yang mereka imani itu dengan rendah hati
menyamakan diri dengan barisan orang berdosa. Dengan memasuki sungai Yordan
untuk minta dibaptis, Yesus menyatakan kemanusian-Nya. Ia adalah manusia yang
lemah lembut dan rendah hati; manusia yang solider dengan nasib sesamanya;
manusia yang menampilkan diri dalam kerapuhan, dan bukan dalam kekuatan;
manusia yang rela berkorban, dan bukan mencari keuntungan dirinya sendiri.
ü Percobaan
di padang gurun (Mrk 1:12-13; Mat 4:1-11;
Luk 4:1-3). Meskipun kelihatannya peristiwa ini tidak persis terjadi seperti
yang dikisahkan, menurut Dupont peristiwa pencobaan ini sekurang-kurangnya
hendak mengemukakan beberapa fakta:
Ø Injil
mau mengatakan bahwa selama hidup-Nya di dunia ini, Yesus tidak bebas dari
godaan-godaan. Yesus mengalaminya secara
konkret, nyata dan sangat dekat. Misalnya ketika Petrus menggodai-Nya untuk
menolak penderitaan (Mrk 8:33; Mat 16:23)
atau ketika di kayu salib, Yesus juga mengalami godaan untuk turun dari kayu
salib (Mat 27:42).
Ø Secara psikologis, rupanya masuk akal bahwa Yesus mengalami
godaan itu pada awal karya-Nya.
Ø Menurut
cara berpikir jemaat Kristen Perdana, setiap tawaran jahat bukan semata-mata
muncul dari konflik psikologis dengan diri sendiri, tapi juga bisa dikenakan
pada penggodaan setan.
Pencobaan terhadap Yesus
di padang gurun ini sekali lagi hendak menegaskan bahwa Yesus adalah seorang
manusia. Sekali lagi Ia menunjukkan solidaritasnya dengan umat manusia. Godaan
itu menunjukkan bahwa Yesus mengalami konsekuensi dari kondisi kemanusiaan yang
terluka oleh dosa.
ü Di
taman Getsemani, Yesus mengalami ketakutan dan gentar. Yesus seolah-olah
tiba-tiba menjadi sadar akan peristiwa yang mengerikan yang segera akan
terjadi. Dari satu pihak Ia merasa berjalan sesuai dengan kehendak Allah,
tetapi dari lain pihak ada ancaman
kematian. Pengalaman itu membuat Yesus terkejut dan ketakutan. Dari penderitaan
Yesus di Getsemani, kita bisa mengenal
manusia Yesus yang membawa di dalam diri-Nya kerapuhan manusiawi. Di situ,
tampak bahwa Yesus bukanlah seorang manusia superman, seperti kesan umum bila
kita berbicara tentang Yesus iman sebagai Putera Allah. Ketakutan Yesus
megnhadapi kematian adalah bukti bahwa Yesus berada dalam kondisi kemanusiaan
universal yang takut terhadap kematian.
ü Kematian
Yesus di Golgota (Mat 27:45-56; Mrk
15:33-41; Luk 23:44-49; Yoh 19:28-30) sebagai pengurbanan diri-Nya untuk
menebus dosa-dosa umat manusia akhirnya semakin menegaskan bahwa Yesus adalah
sungguh-sungguh manusia.
Kesimpulannya, Yesus dari Nazareth adalah seorang manusia
yang autentik dan serentak unik. Ia tidak berdosa, tetapi dijadikan pendosa,
dan digolongkan di antara kaum penjahat. Yesus yang adalah sungguh-sungguh
manusia ini telah memberikan suatu visi antropologi kristiani yang baru. Ia
memberikan identitas kepada kekristenan. Yesus mengemukakan pengurbanan diri atau pengosongan diri sebagai
suatu keutamaan manusiawi yang mengandung imperatif moral. Artinya, manusia
akan menjadi manusia bila mengembangkan keutamaan berkurban. Pengorbanan diri
Yesus menjadi sebiah keutamaan karena Ia rela menanggung penderitaan yang bukan
disebabkan oleh kesalahan-Nya sendiri. Pengorbanan diri sebagai bagian dari
tugas perutusan inilah yang menjadi ciri khas manusia Kristen. Dengan demikian,
konsekuensi logis bahwa kita percaya akan Yesus yang sungguh manusia berarti
kita harus (bukan hendaknya) mengembangkan suatu nilai pengurbanan diri
sebagaimana telah diteladankan oleh Yesus sendiri. Saya percaya dengan segenap
akal budi dan dengan sepenuh hati akan kenyataan ini, dan menjadikan manusia
Yesus sebagai model keteladanan khususnya dalam mengembangkan keutamaan
berkurban.
2.
Jelaskanlah dengan cukup mendalam mengapa
Gereja mengajarkan dan anda juga percaya bahwa Yesus adalah sungguh Allah?
Carilah buktinya bahwa Yesus adalah sungguh Putera Allah! Apa artinya dan apa
konsekuensinya bila kita percaya kepada Yesus yang adalah sungguh Putera Allah!
Pertama-tama, perlu ditegaskan bahwa gelar “Putera Allah”
adalah istilah biblis yang hendak menjelaskan atau menekankan soal kodrat
keilahian yang dimiliki Yesus. Yesus adalah sungguh-sungguh Allah. Oleh karena
itu, terlebih dahulu akan dipaparkan data-data biblis soal gelar “Putra Allah”.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, ungkapan Putera Allah
ditujukan kepada beberapa kelompok manusia yakni: Umat Israel yang dikasihi dan
dilindungi oleh Allah (Kel 4:22-23; Hos 11:1; Yer 31:9), Para Malaikat (Ayb
1:6; 38:7), Raja keturunan Daud (2Sam 7:14; Mzm 2:7; 1Taw 17:13), orang-orang
benar dari Umat Israel (Ul 14:1-2), Orang-orang jujur yang dianiaya (Keb Sal
2:13-18), dan orang-orang Kristen secara analog (Rm 8:16-18). Yesus dari
Nazareth juga disebut Anak Allah. Menurut Perjanjian Baru, sebutan untuk Yesus
tersebut mengacu pada dua pengertian yakni sebagai Raja Mesianis yang memenuhi
harapan Israel (Mrk 3:11; 5:7; Luk 4:41) dan sebagai Putera Tunggal Allah yang
sehakikat dengan Bapa (Yoh 3:18; 5:17-23; 16:32; Kol 1:15-17; Ibr 4:14).
Data-data biblis yang dikemukakan tersebut di atas akan
menjadi dasar bagi refleksi teologis lebih lanjut mengenai identitas Yesus
sebagai Putera Allah. Yang perlu menjadi catatan penting di sini ialah bahwa
sehubungan dengan gelar Putera Allah yang dikenakan pada Yesus sebagaimana
dikemukakan dalam Kitab Suci adalah gelar-gelar post-paskah, maka masih bisa
ditanyakan apakah ada “semacam kesadaran diri” pada Yesus sebagai Putera Allah?
Artinya, mungkinkah Yesus historis itu sendiri sadar akan dirinya sebagai
Putera Allah dalam arti sebagai Putera Tunggal Allah? Refleksi teologis akan
identitas Yesus sebagai Putera Allah ini atau yang disebut kristologi akan
dikemukakan berdasarkan dua sudut pandang yakni kristologi implisit dan
kristologi eksplisit.
a.
Kristologi Implisit atau Kristologi dari bawah
Kristologi eksplisit ialah kristologi yang berangkat dari
Yesus historis untuk mencari pengetahuan atau pun membuktikan bahwa Yesus
adalah Putra Allah. Persoalan pokoknya bagaimana kita bisa membuktikan atau
sampai pada pemahaman bahwa Yesus sendiri tahu atau menyadari bahwa Ia adalah
Putera Allah. Hal ini dapat dibuktikan atau direfleksikan dalam tiga poin besar
berikut ini.
Kesadaran
diri Yesus sebagai Putera Allah
Yesus sendiri tidak pernah secara eksplisit
mengklaim gelar-gelar kristologis, khususnya Ia juga tidak pernah berbicara
tentang diri-Nya sendiri sebagai Putera Allah. Namun hal itu tidak berarti
bahwa Yesus tidak menyadari bahwa Ia adalah Putera Allah. Menurut Walter
Kasper, kesadaran diri Yesus sebagai Putera Allah itu terlihat secara tidak
langsung atau implisit dalam ekspresi-ekspresi yang sangat empatik. Kasper
menunjukkan beberapa hal yang mengungkapkan ekspresi tersebut.
1)
Khotbah-khotbah Yesus (baik isi maupun caranya)
Rumusan yang paling populer digunakan ketika
Yesus mengajar terutama ketika mengkontraskan ajaran Perjanjian Lama dengan
ajaran-Nya ialah “Tetapi Aku berkata kepadamu…” (Mat 5:22,28). Rumusan tersebut
menempatkan kata-kata Yesus itu sejajar bahkan melampaui apa yang dikatakan
dalam Perjanjian Lama, padahal hukum Perjanjian Lama adalah hokum dari Tuhan.
Hal ini menunjukkan bahwa Yesus telah mengklaim bagi diri-Nya suatu otoritas
yang sama dengan otoritas Allah dalam Perjanjian Lama. Ia merasa diri sebagai
“mulut Allah” atau “suara Allah”. Dan klaim ini tidak ada paralelnya dalam
Yudaisme.
2)
Tingkah laku dan pelayanan Yesus
Ekspresi dari kesadaran akan diri-Nya sebagai
Putera Allah juga nampak dalam tingkah laku dan pelayanan Yesus. Contoh paling
konkret adalah ketika Ia makan bersama dengan para pemungut cukai dan pendosa.
Di dalam Yudaisme, makan bersama berarti “persekutuan khusus dalam Allah”. Tiap
perjamuan adalah prefigurasi (gambaran antisipatif) dari perjamuan eskatologis
dan persekutuan dengan Allah. Ketika Yesus menerima orang-orang berdosa ambil
bagian dalam perjamuan di mana Dia hadir, itu berarti bahwa Yesus menerima para
pendosa masuk dalam persekutuan dengan Allah. Ketika tindakan-Nya ini dikritik
(Luk 15:2), Yesus menceritakan perumpamaan tentang anak yang hilang dan Bapa
yang baik hait (Luk 15:11-32). Dengan bertindak demikian, Yesus
mengidentifikasikan perbuatan-Nya dengan tindakan Allah bagi para pendosa.
3)
Pemilihan para murid
Mempunyai murid adalah hal yang biasa bagi
para rabi atau guru di kalangan Yudaisme. Tetapi ada perbedaan besar antara
murid-murid Yesus dengan murid para rabi lain. Pertama, orang tidak bisa melamar untuk menjadi murid-Nya. Yesus
sendirilah yang dengan kuasa memilih orang-orang yang dikehendaki-Nya (Mrk
3:13). Kedua, murid Yesus bersifat
tetap dan tidak ada kemungkinan untuk akan naik jabatan menjadi guru karena
hanya ada satu-satunya guru yakni Yesus sendiri (Mat 10:24). Ketiga, kesatuan antara Yesus dengan
para murid adalah kesatuan seluruh hidup, sehingga harus meninggalkan segala
ikatan lain (Mrk 10:28). Tuntutan radikalitas kemuridan bagi pengikut Yesus ini
mengisyaratkan kesadaran diri Yesus sebagai guru yang tidak bisa disejajarkan
dengan para rabi Yahudi.
4)
Cara Yesus menyapa Tuhan Allah
Secara historis, dalam kultur Yudaisme, hanya
Yesus yang menyapa Tuhan Allah dengan sebutan “Abba” (Bapa). Ia membedakan
antara sapaan “Bapa-Ku” (Mrk 14:36; Mat
11:25) dan “Bapamu” (Luk 6:36; 12:30,32) atau “Bapamu surgawi” (Mrk 11:25; Mat
23:9). Sapaan “Bapa-Ku” yang dipakai Yesus mengungkapkan relasi singular antara
Yesus dengan Allah. Cara-Nya dalam menyapa Allah tersebut, juga ketika dalam
doa-doa-Nya menyingkapkan kesadaran Yesus sebagai Putera Allah.
Cara
Yesus berelasi dengan Bapa-Nya
Selain dengan cara berdoa-Nya, relasi Yesus
dengan Allah sebagai Bapa-Nya juga tampak dalam tindakan-tindakan dan dalam
seluruh hidup dan mati-Nya. Makanan-Ku ialah melaksanakan kehendak Bapa-Ku (Yoh
4:34). Aku datang untuk melaksanakan kehendak Dia yang mengutus Aku (Yoh 8:42).
Walter Kasper menyebut corak relasi Yesus dengan Bapa-Nya tersebut sebagai relasi efektif keputraan. Maksudnya
ialah ada kesatuan timbal balik yang saling memasuki dan menentukan identitas
kedua-Nya. Allah menjadi Bapa karena relasi-Nya dengan Putera, dan sebaliknya
Yesus menjadi Putera karena relasi-Nya dengan Bapa.
Ketaatan Yesus kepada Bapa adalah ungkapan
relasi “Keputraan” sebagai komunikasi diri antara Yesus dan Bapa-Nya. Kasper
menulis, “Dalam keberadaan-Nya sebagai Putra, Yesus memiliki asal-usul terdalam
pada Allah dan menjadi bagian dari Allah. Yesus terarah kepada Bapa karena
sebelumnya Bapa terarah kepada Yesus. Dengan demikian, dalam diri Yesus
historis yang pernah hidup dan berkarya di Palestina tersebut Tuhan menyatakan
diri-Nya secara eskatologis dan definitif sebagai Bapa dari Yesus Kristus
sehingga tidak mungkin kita berbicara tentang Allah dengan mengabaikan Yesus.
Kebaruan
pewartaan Yesus sebagai Putera Allah
Selain cara keterarahan Yesus kepada Bapa sebagai
cara baru seorang manusia berelasi dengan Tuhan, menurut Kasper kebaruan yang
paling radikal kalau dibandingkan dengan Yudaisme adalah skandal penyaliban
Yesus. Orang Yahudi mengharapkan datangnya seorang Raja Mesias dari keturunan
Daud untuk menegakkan Kerajaan Israel. Sementara Yesus akhirnya disalibkan,
suatu bentuk hukuman mati untuk menghinakan dan menyiksa para penjahat bagi
orang Romawi. Cukup banyak ekseget yang berpendapat bahwa Yesus sendiri tidak
mengerti makna kematian-Nya di salib adalah peristiwa keselamatan mengingat
keyakinan populer dalam Yudaisme tentang keselamatan Allah sebagai kekuatan dan
kemenangan Allah. Namun dari pihak lain, harus dikatakan bahwa penyaliban yesus
adalah konsekuensi dari khotbah-khotbah dan tindakan-Nya. Yesus menyadari
reaksi marah dari orang-orang yang dikritik-nya sekaligus menyadari nasib para
nabi yang berani menyatakan kebenaran. Ia juga menggunakan semua penafsiran
Kitab Suci untuk member arti bagi nasib-Nya sendiri.
Berkaitan dengan arti salib dan penebusan,
Kasper berpendapat bahwa makna penebusan dalam salib Yesus justru terletak pada
sifat kontradiktifnya. Salib adalah lambang penghinaan dan kekalahan, sedangkan
penebusan adalah karya Allah yang penuh kemenangan. Kematian Yesus di salib
adalah bentuk historis dimana Kerajaan Allah menjadi nyata sekarang ini.
Beginilah cara Kerajaan Allah hadir untuk melampaui kelemahan manusia; suatu
kekayaan ilahi dalam kemiskinan manusiawi; suatu cinta dalam penyerahan diri;
suatu kepenuhan dalam kekosongan; dan suatu kehidupan di dalam kematian.
b.
Kristologi Eksplisit
Kristologis eksplisit adalah refleksi tentang gelar Yesus
sebagai Putera Allah sesudah kebangkitan atau gelar-gelar kristologis
post-paskah. Objek materialnya adalah Yesus Iman, bukan Yesus historis. Yesus
iman adalah Yesus sebagaimana dipercaya, digambarkan dan diwartakan oleh para
murid, khususnya jemaat Kristen Perdana. Kristologis eksplisit ini tampak
terlebih di dalam surat-surat Paulus dan tulisan-tulisan Yohanes.
Ada tuduhan dari para teolog liberal seperti Adolf von
Harnack bahwa pengakuan iman Yesus sebagai Allah atau Putra Allah adalah sangat
dipengaruhi oleh mitologi Yunani, misalnya ide tentang “divine man” (theioi Andres –
manusia ilahi) maupun gagasan “kebijaksanaan” yang ada bersama Allah dalam
teks-teks Kitab Suci Yahudi. Menurutnya, gelar kristologis dari Yohanes dan
Paulus yang mengakui Yesus sebagai Allah tidak lain hanyalah penerapan kedua
gagasan tadi pada pribadi Yesus sehingga terkesan Yesus yang sebenarnya
hanyalah manusia biasa itu dijadikan Tuhan oleh jemaat Kristen Perdana.
Walter Kasper menentang pendapat ini dengan menegaskan lagi
bahwa kekristenan berangkat dari Yesus yang tersalib. Karena itu tuduhan para
teolog liberal itu tidaklah beralasan mengingat Yesus yang disalibkan adalah
batu sandungan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang Yunani (sebagaimana
sudah dijelaskan sebelumnya). Memang benar bahwa dalam Perjanjian Baru sendiri
sudah ada pengaruh-pengaruh Yudaidme dan Hellenisme. Akan tetapi,
pengaruh-pengaruh itu tidak menjadi latar belakang iman Kristen melainkanhanya
menjadi pendukungnya saja. Kesimpulannya, iman akan Yesus Kristus sebagai Putra
Allah muncul secara independen dan original dalam kekristenan.
Pengakuan iman secara eksplisit dari para murid bahwa Kristus
adalah Putra Allah berangkat dari pengalaman akan kebangkitan. Yang hendak
ditegaskan di sini ialah bahwa dengan peristiwa kebangkitan para murid menjadi
sadar bahwa Yesus adalah Putra Allah yang memang sudah sejak awal mula. Gagasan
bahwa kebangkitan adalah saat pengangkatan Yesus sebagai Putra Allah adalah
keliru mengingat Allah tidak mungkin menjadi Allah sejak waktu tertentu.
Juga bahwa kristologi implisit menjadi latar belakang
kristologi eksplisit. Artinya, pertemuan dengan Yesus yang bangkit mengingatkan
para murid akan Yesus historis. Yesus yang bangkit membuat mereka semakin yakin
bahwa Dia adalah sungguh-sungguh Putra Allah. Hubungan saling melengkapi ini
sangat perlu untuk memahami misteri identitas Yesus Kristus secara keseluruhan.
Pribadi Yesus memiliki corak eskatologis dalam arti menjadi pemenuhan secara
final, total, radikal, dan definitif bagi seluruh realitas ciptaan. Yesus
adalah Putra Allah dalam arti Putra Tunggal Allah, dan di dalam Dia kita
menjadi anak-anak Allah (RM 8:14-17), dan di dalam Dia Allah menentukan kita
menjadi serupa dengan gambaran Putera-Nya (Rm 8:29.
3.
Apakah relevansi identitas Yesus sebagai
sungguh Allah dan sungguh manusia bagi eksistensi kita sebagai orang Kristen?
Berdasarkan identitas Yesus yang menjadi landasan keberadaan kita itu, apakah
motivasi yang muncul bagi hidup moral yang baik? Mengapa saya harus hidup baik
secara moral?
Iman akan Yesus Kristus yang adalah sungguh Allah dan sungguh
manusia memberikan sebuah visi baru tentang eksistensi manusia. Begitu Yesus yang adalah Putra Allah memasuki
“kemanusiaan”, arah atau tujuan final dari keberadaan manusia selalu bersangkut
paut dengan Yesus Kristus, Allah-manusia itu.
Di
dalam keesaan PribadiNya maka Yesus sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh
manusia. Di dalam teologi, dua
sifat dasar Allah dan manusia disebut sebagai fakta 'theantropis' (bahasa
Yunani: 'Theos' berarti Allah dan 'anthropos' berarti manusia) Yesus
Kristus. KeilahianNya
dan kemanusiaanNya tidak boleh dipandang sebagai dua tingkatan yang berbeda.
KemanusiaanNya bukanlah suatu cara berada yang lebih rendah dan menganggap
keilahianNya menjadi lebih tinggi. Kemanusiaan Yesus tidak dipandang sebagai
suatu “selubung” saja dan keilahianNya tidak dipandang hanya “roh”Nya saja.
Atau dengan kata lain KemanusiaanNya bukan dalam keadaan semu saja sehingga
hanya keilahianNya yang lebih penting. Tapi kemanusiaan dan keilahian menyatu
dan tidak terpisahkan dalam satu Pribadi Yesus. Dalam Yesus Kristus
sungguh-sungguh manusia dan sungguh-sungguh Allah. Di dalam keesaan Yesus
merangkap kedua “tabiat” itu.
Di
dalam kedua tabiat ini, kita bisa memahami karya Yesus Kristus untuk dunia ini.
Ia telah datang untuk melaksanakan karya penebusan yaitu perdamaian antara
Allah dengan manusia. Oleh karena Dia sungguh-sungguh Allah maka Ia sanggup
untuk memperdamaikan manusia dengan Allah. Oleh karena Ia sungguh-sungguh
manusia maka perdamaian itu benar-benar diperuntukkan bagi manusia. Artinya Ia
satu dengan Allah dan juga satu dengan manusia.
Hal ini antara lain ditegaskan oleh ketetapan Konsili
Chalsedon. Inti pengajaran dari konsili ini antara lain:
Ø
Yesus pada saat yang sama adalah sempurna dalam
keilahian dan sempurna dalam kemanusiaan. Yesus sungguh-sungguh Allah dan
sungguh-sungguh manusia.
Ø
Dua hakekat/natur Yesus: tanpa percampuran,
tanpa perubahan, tanpa perpecahan, tanpa perpisahan, karakteristik dari setiap
natur tetap dipertahankan dan bersama-sama membentuk satu pribadi.
Beberapa catatan penting Konsolo
Chalsedon yang perlu digarisbawahi tentang kodrat Yesus Kristus adalah sebagai
berikut.:
·
Meskipun keilahian dan kemanusiaan Yesus adalah
tanpa perpecahan dan tanpa perpisahan, tetapi dua hakekat tersebut tetap bisa
dibedakan.
·
Masing-masing
hakekat tetap memiliki sifat-sifatnya sendiri.
·
Hakekat
ilahi Yesus tidak berubah menjadi hakekat manusiawi Yesus selama di dunia, Yesus tetap Allah sejati.
·
Hakekat
manusiawi Yesus tidak berubah menjadi hakekat ilahi Yesus setelah kenaikan ke
surga, Yesus tetap manusia sejati.
·
Dua hakekat Yesus tidak bercampur membentuk
pribadi ketiga.
·
Yesus: dua hakekat tetapi satu pribadi (Logos),
cf. Tritunggal: satu hakekat tetapi tiga pribadi.
Sekarang telah menjadi jelas soal identitas Yesus yang adalah
sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia. Pertanyaan refleksi lebih
lanjut adalah apakah konsekuensi Identitas Yesus bagi eksistensi manusia? Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, Yesus telah menjumpai manusia sebagai manusia,
bukan hanya sebagai Putera Allah. Dengan kata lain, Yesus telah mengambil
struktur ontologis keberadaan manusia konkret. Jika kita mendefinisikan
tindakan moral sebagai ekspresi eksistensi manusia, perlulah Yesus Kristus
menjadi dasar dari eksistensi manusia itu. Kesamaan ontologism antara Yesus
dengan setiap orang membebaskan setiap orang dari segala belenggu yang
menghalangi tindakan moral yang baik. Maksudnya, orang lebih dimampukan untuk
berbuat yang baik dan menghindari yang jahat. Lebih jauh lagi, kehadiran Yesus
membuka komunikasi efektif dengan Allah sehingga eksistensi manusia terarah
kepada Allah. Kehidupan moral yang baik bertujuan untuk mengarahkan manusia
menuju Allah.
Identitas Yesus memainkan peranan penting di dalam kehidupan moral
manusia karena Ia menjadi solider atau serupa dengan kita. Bagaimana Yesus
solider dengan manusia?
Ø
Solidaritas demi kesamaan. Maksudnya, Yesus
solider dengan manusia dengan kehadiran-Nya di antara manusia. ia menjadi sama
dengan manusia dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa.
Ø Solidaritas
demi pemenuhan. Artinya, yesus solider denga manusia dengan mengambil “kemanusiaan”
dalam diri-Nya sehingga Ia menjadi pemenuhan dari kemanusiaan kita. Yesus bukan
hanya menjadi manusia begitu saja, melainkan ia memberikan kepenuhan kepada
kemanusiaan itu.
Ø
Solidaritas demi identitas-Nya sebagai Putera
Allah. Maksudnya, Yesus solider dengan manusia dalam kapasitasnya sebagai Dia
yang mampu menjadi jawaban atas misteri manusia.
Demikianlah pengenalan akan identitas Yesus ini memberi motivasi untuk
melaksanakan hidup moral yang baik. Saya harus hidup baik secara moral karena
kehidupan moral merupakan ekspresi dari keberadaan manusia (agree sequitur esse). Identitas Yesus
Kristus itulah yang telah memberikan pendasaran ontologis bagi kehidupan moral
ini. Secara sederhana, dapat saya katakan bahwa saya harus hidup baik secara
moral karena Yesus yang saya imani itu telah terlebih dahulu memberikan teladan
bagaimana seharusnya menjadi seorang manusia dengan berbagai keutamaan moral
yang telah dipraktekkannya. Ia adalah visi manusia Kristen, model dan teladan
manusia sejati yang dari pada-Nya saya menimba cahaya untuk membentuk kehidupan
moralitas yang baik dan tentunya terarah kepada Allah sendiri.
Akhirnya, saya harus mengakui bahwa refleksi sederhana (dan mungkin tidak
cukup teologis) ini telah merombak seluruh cara saya mengembangkan moralitas
dan lebih jauh kemanusiaan saya. Selama ini, saya merasa saya harus hidup baik
hanya karena saya ingin masuk surga. Saya menjadi sadar bahwa motivasi ingin
masuk surga sekali pun bukanlah motivasi yang murni karena masih mengharapkan
upah atas apa yang saya buat. Saat ini, Yesuslah yang menjadi motivasi saya.
Keseluruhan hidup dan identitas- Nya adalah alasan mengapa saya harus
mengembangkan moralitas yang baik.
Daftar Bacaan
Groenen, C., Dr., OFM. Sejarah Dogma Kristologi: Perkembangan Pemikiran Tentang Yesus Kristus
Pada Umat Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Jacobs, Tom, DR., SJ. Siapa Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius,
1981.
Pakpahan, N. H., S.Th. Yesus Kristus sebagai Manusia. Buletin Narhasem, September 2004.
Sujoko, Albertus, MSC. Identitas Yesus dan Misteri Manusia: Ulasan Tema-Tema Teologi Moral
Fundamental. Yogyakarta: Kanisius, 2009. (Sumber Primer)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar